Ada sesuatu yang diam-diam mengungkapkan tentang cara seseorang bersikap saat mengemudi.
Jalan, pada dasarnya, tidak punya ingatan --- tapi ia mencerminkan begitu banyak hal. Jalan tidak tahu siapa namamu, berapa gajimu, atau bagaimana latar belakang keluargamu. Tapi ia mendengarkan. Ia mengamati. Dan dengan setiap putaran setir, jalan memantulkan kembali serpihan-serpihan dirimu --- doronganmu, kesabaranmu, ketakutanmu, kebanggaanmu, rasa ingin mengendalikan, bahkan luka-luka tersembunyi dalam hatimu.
Bagi banyak orang, menyetir mungkin tampak seperti rutinitas biasa --- perjalanan ke kantor, ke warung, antar anak ke sekolah. Tapi berhentilah sejenak. Renungkan lebih dalam. Bukankah menarik betapa banyak emosi, asumsi, bahkan identitas yang ikut terbawa cuma dalam satu tindakan ini? Ada yang melaju seolah punya jalanan, dengan aura keangkuhan, seakan kendaraannya adalah simbol kekuasaan. Ada juga yang berkendara begitu lambat di lajur cepat, seakan dunia harus menyesuaikan dengan ritmenya. Lalu ada pula yang melawan arah, menyalip secara kasar, atau bermanuver sembarangan seolah-olah waktu berutang padanya. Semua itu bukan semata tentang mobil --- tapi tentang hati.
Jadi, apa sebenarnya yang membentuk gaya seseorang saat mengemudi? Apakah kepribadian? Apakah lingkungan sosial? Atau mungkin ada sesuatu yang lebih dalam --- sesuatu yang bersifat spiritual?
Mari kita tempuh perjalanan ini bersama-sama --- bukan di tengah kemacetan, tapi di lorong-lorong jiwa manusia yang kerap tersesat di dalamnya.
Mobil Sebagai Perpanjangan dari Diri
Dalam banyak hal, mobil menjadi semacam "kulit sementara". Saat seseorang masuk ke dalam kendaraan, sesuatu yang halus berubah. Seolah-olah lapisan perlindungan itu bukan cuma menjaga secara fisik, tapi juga memberi jarak emosional.
Di balik kemudi, orang yang biasanya lembut bisa tiba-tiba berteriak. Orang yang tidak akan pernah menyerobot antrean bisa dengan agresif memotong jalur. Logam dan kaca menjadi pelindung yang sering kali memberi izin palsu untuk bersikap dengan cara yang tidak akan diterima saat berhadapan langsung.
Psikolog sosial sudah lama meneliti fenomena ini. Ini berkaitan dengan konsep yang disebut deindividuasi --- gagasan kalau saat seseorang merasa anonim, mereka cenderung bertindak dengan cara yang tidak biasa. Di dalam mobil, tanpa kontak mata langsung atau konsekuensi sosial yang jelas, seseorang bisa merasa bebas --- atau justru kehilangan arah.
Tapi itu semua cumalah permukaan. Apa yang sebenarnya mendorong perubahan itu? Apa yang tersembunyi di balik jarak emosional itu?
Kesombongan di Jalur Cepat
Perhatikan mereka yang mengemudi mobil besar atau mewah dan merasa hal itu memberi mereka hak lebih --- ruang lebih, penghormatan lebih, prioritas lebih. Ini bukan sekadar soal tenaga mesin atau tampilan gagah. Ini adalah pernyataan diam-diam: "Lihat aku. Minggir. Beri jalan."
Dalam Islam, kesombongan adalah perkara yang sangat serius. Rasulullah bersabda:
"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walau sebesar biji atom."
(HR. Muslim)