di jantungku--sarang sembilan puluh sembilan jenis ular--menetas telur-telur kecemasan, seperti luka disiram air garam, seperti dada dihantam palu godam, seperti urat nadi diiris-iris belati, seperti telapak kaki tertusuk-tusuk duri,
ingatan meratapi kehilangan demi kehilangan, membuat kiamat terasa diulang-ulang.
begitu menyakitkanya kecemasan.
sungguh, aku sudah cukup lama mengunyah rasa sakit itu, rasa sakit tersayat sembilu, begitu ngilu begitu riuh begitu biru, perih-pedih membilur setiap waktu tanpa jeda libur, menjadi menu sarapan menjadi hidangan utama makan malam menjadi nelangsa yang membuat mata mendung bosan menenun hujan.
rasa-rasanya, aku sudah layuh menyembuhkan diriku yang sekarat di tubuhku dan hanya membatu di helai nafas bau neraka. membatulah tangisanku, membatulah keheninganku menunggu malaikat maut membawakan mulut kematian menyantap seluruh lukaku yang pahitnya ditancapkan di daging dan perasaan yang remuk membusuk.
apa yang sebenarnya kutakuti? aku tak pernah benar mengerti, meski seolah itu makrifati bahkan hakiki. tapi tak ada mata seorang saksi.
ternyata, hantu puncak menara waktu merasukiku, menjadi benalu, membuat nalar tak sanggup memilah: mana anggur, mana susu, mana darah, mana nanah.
akhirnya aku menyadari, hidup ialah menikmati sisa-sisa kecemasan yang dikilungi bunga-bunga sedih tanpa harus memesan mati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI