"Tapi aku tidak mencintainya."
"Aku cuma ingin bersama kamu,punya anak-anak yang lucu dari kamu!"Jawabku seperti ingin meyakinkan Nina.
"Tapi menikah itu tidak cukup dengan cinta,bang."
"Kita perlu restu orangtua."
"Abang tak mungkin mendapatkan itu jika memilihku."
Aku merasa perkataan Nina benar. Tapi mencintai Nina dan memilihnya juga bukan kesalahan. Aku hanya harus menembus tembok adat istiadat dalam keluarga yang jadi aturan bagai undang-undang yang tak bisa dilanggar.Â
"Beri aku waktu untuk berpikir."
"Tak mungkin membatalkan pernikahan kita hanya karena kamu tak punya marga."jawabku lagi meyakinkan Nina.
Aku memang bukan pria yang romantis. Tapi Nina pasti tahu aku sangat mencintainya. Nina pasti bisa merasa adat istiadat tak bisa membuatku menghentikan langkah dan melepaskan Nina dari genggaman yang mungkin saja langsung disambar orang.Â
Aku tak sempat berandai-andai apalagi memikirkan strategi yang jitu agar mama dan papa sadar, menerima Nina keputusan paling tepat yang akan membahagiakan aku... anak laki- laki satu-satunya ini. Pendarahan di otak Nina yang membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit dan membuat anganku untuk memilikinya memang hanya angan-angan. Menikahi Esra kemudian keputusan berat yang harus kuambil saat mama memintaku memenuhi permintaan terakhirnya. Aku tersudut dalam hidup yang tak punya pilihan. Aku hanya mengikuti aturan tapi bukan hati nurani...
                                 ****