****
"Mengapa abang tak pernah pulang cepat?"Seru Esra menyelidik.
Esra sering protes. Aku tak pernah punya waktu untuk menjemputnya. Kalau aku menjemput Esra, aku tak bisa menemani Nina. Aku tak ingin meninggalkan dia, sekalipun statusku kini seorang suami yang punya tanggungjawab kepada istrinya. Aku hanya mencintai Nina. Lantas untuk apa menikahi Esra? Untuk apa menyakiti hati perempuan lain dengan berpura-pura mencintainya? Bahkan hidup seatap dengannya?
Kadang aku merasa bersalah karena tak bisa keluar dari lingkaran ini. Aku, Esra dan Nina. Harusnya aku memberi kesempatan agar bisa mencintai Esra dengan sepenuh hati, karena dia memang berhak untuk kucintai. Tapi aku tak pernah bisa. Tak pernah bisa mengganti perasaan cintaku pada Nina dengan rasa yang sama kepada Esra...entah sampai kapan.
"Nanti ya...kalau pekerjaan kantor sudah  tak terlalu banyak."
"Aku pasti menjemputmu sesekali."
Aku berusaha memberi pengertian pada Esra.Tapi tak selamanya kebohongan bisa ditutupi. Hari itu tak sengaja bertemu Esra di rumah sakit. Aku berusaha menghindar, saat sadar ada Esra di tempat yang sama. Tapi aku tak punya cukup waktu. Dalam sepersekian detik,Esra menengok ke belakang dan...bola mata kami bertemu.
"Loh...kenapa abang ada di sini?"
"Ada yang sakit?"Esra memberondong dengan pertanyaaan.
Aku berpikir keras untuk menjawabnya dengan tepat.
"Iya... anak buahku."