Mohon tunggu...
Lila Carmelia
Lila Carmelia Mohon Tunggu... -

berawal senang membaca dan kemudian mencoba untuk menuangkan beragam imajinasi dalam sebuah cerita....semoga slalu menghibur para penikmat cerita pendek

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Antara Dua Nina

20 Januari 2018   16:50 Diperbarui: 20 Januari 2018   17:08 1000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Harusnya inilah saat yang paling membahagiakan...tapi ternyata kosong... Tak bisakah kita bicara jujur tentang hati?Tentang rasa yang indah ataupun tidak?Aku hanya bergerak mengikuti aturan tapi bukan  nurani. Aku bergerak dengan akal dan pikiran tapi bukan dengan jiwa.

Kami membuka kotak ampau itu. Aku dan Esra menghitung berapa rupiah yang kami terima. Esra sempat menjerit senang waktu lembar terakhir ditaruh ditangannya,

"Tiga puluh tiga juta delapan ratus ribu?"Esra berteriak sambil tertawa.

"Bang....kita jadi bulan madu ya?"ucapnya manja.

"Tunggu...kuhitung dulu hutangku!Jawabku menggodanya.

"Besok kita datangi travel agent saja, sambil bertanya tempat yang cocok untuk bulan madu dengan uang yang kita punya."Esra kelihatan sangat bersemangat.

Diam-diam aku menatapnya. Esra memang tak terlalu cantik tapi memiliki daya tarik yang kuat. Esra memang pintar dan...sama-sama orang batak! Tak bisa kupungkiri sulitnya mencari calon istri. Perempuan yang memenuhi kriteria mama dan papa tentu saja. Cantik,pintar,seiman dan satu suku. Ini sulitnya...

Aku butuh waktu lama untuk mendapatkan Esra. Mungkin bukan mendapatkan tapi lebih membuka hati dan pikiranku untuk menjalani hidup dengan lebih ringan. Hidup yang mungkin tak sesuai dengan impian.

Tak sulit menjalani hidup bersama Esra. Dia periang,humoris,easy going tapi juga sabar. Baru kali ini aku bertemu  perempuan batak dengan pembawaan yang tak kurang halusnya dari perempuan Jawa. Mungkin aku cukup beruntung. Memiliki seorang istri yang tak pernah kucintai dengan sepenuh hati tapi mampu memberikan hidupnya dan mengisi ruang-ruang kosong dalam jiwa jadi bermakna.  Kuharap...suatu hari aku bisa benar-benar mencintainya...

                                                                  ****

"Sore suster..."Aku menyapa perawat itu.

Suster Eni sudah kukenal hampir setahun. Sama lamanya saat Nina dirawat di rumah sakit ini. Aku sangat mencintai perempuan itu. Nina pasangan jiwa yang tak bisa terganti dengan siapa-siapa. Nina sabar, lembut dan bersahaja. Persis perempuan impianku sejak masa remaja. Aku mencintai Nina dengan tulus. Sama tulusnya saat aku harus menunggunya dengan sabar. Hampir satu tahun Nina koma dan tak tahu kapan dia akan bangun. 

Sebelum Nina koma saja aku tak berani membawanya ke rumah. Mengenalkannya dengan mama dan papa hanya akan membuatnya terluka. Aku sudah tahu bagaimana orangtuaku akan menyambutnya. Pasti dengan wajah yang tak ramah dan menyakiti perasaan Nina. Aku tak ingin wajah cantiknya terlihat sedih. Matanya yang indah pasti akan tampak redup. Tak tega rasanya membiarkannya menjadi bulan-bulanan. Aku harus mencari cara, bagaimana membuat mama dan papa bisa menerima Nina apa adanya. Tapi tak sampai membawa Nina datang ke rumah, Nina harus berada di kamar berdinding putih yang tampak beku dan dingin itu.

Saat Nina harus menghabiskan hari-harinya di rumah sakit, aku hanya bisa mendampinginya. Ungkapan sayangku pada Nina dengan selalu berada di sisinya. Tak ingin beranjak dari rasa yang kumiliki saat ini dan selamanya. Hidupku hanya untuk Nina.

"Halo cantik, bagaimana kabarmu?"Aku mengajaknya bercakap-cakap sambil menggenggam tangannya. Tangan yang halus itu kini tampak semakin halus saja. Mungkin Nina tak bisa mendengar suaraku, dia hidup di dalam alam bawah sadar yang mungkin saja tak pernah melibatkanku. Tapi tak apa-apa asal Nina sembuh. Dokter selalu bilang,

"Ajak Nina bicara."

"Ceritakan apa saja."

"Sampai dia mendengar dan terbangun dari tidurnya yang panjang."

Tiap sore aku mengunjunginya. Tak hanya untuk tahu perkembangan kesehatannya, tapi juga bercerita tentang banyak hal. Tentang kantor, tentang teman-temanku, tentang perasaanku pada Nina...tapi tidak tentang Esra.

Nina tak perlu tahu, kalau aku sudah menikah dengan Esra. Pernikahan yang tak kukehendaki tapi tetap harus kujalani. Tak pernah sekalipun aku mengganti perasaan cintaku pada Nina dengan rasa cintaku kepada Esra. Aku menyimpannya dalam-dalam...hanya aku dan Tuhan yang tahu.

"Aku pulang dulu, selamat beristirahat."Kataku sambil mencium tangan dan keningnya.

Nina tak pernah mengangguk apalagi membuka mata agar aku bisa melihat lagi bola matanya yang indah bercahaya. Nina hanya terdiam dalam tidurnya...

                                                               ****

"Mengapa abang tak pernah pulang cepat?"Seru Esra menyelidik.

Esra sering protes. Aku tak pernah punya waktu untuk menjemputnya. Kalau aku menjemput Esra, aku tak bisa menemani Nina. Aku tak ingin meninggalkan dia, sekalipun statusku kini seorang suami yang punya tanggungjawab kepada istrinya. Aku hanya mencintai Nina. Lantas untuk apa menikahi Esra? Untuk apa menyakiti hati perempuan lain dengan berpura-pura mencintainya? Bahkan hidup seatap dengannya?

Kadang aku merasa bersalah karena tak bisa keluar dari lingkaran ini. Aku, Esra dan Nina. Harusnya aku memberi kesempatan agar bisa mencintai Esra dengan sepenuh hati, karena dia memang berhak untuk kucintai. Tapi aku tak pernah bisa. Tak pernah bisa mengganti perasaan cintaku pada Nina dengan rasa yang sama kepada Esra...entah sampai kapan.

"Nanti ya...kalau pekerjaan kantor sudah  tak terlalu banyak."

"Aku pasti menjemputmu sesekali."

Aku berusaha memberi pengertian pada Esra.Tapi tak selamanya kebohongan bisa ditutupi. Hari itu tak sengaja bertemu Esra di rumah sakit. Aku berusaha menghindar, saat sadar ada Esra di tempat yang sama. Tapi aku tak punya cukup waktu. Dalam sepersekian detik,Esra menengok ke belakang dan...bola mata kami bertemu.

"Loh...kenapa abang ada di sini?"

"Ada yang sakit?"Esra memberondong dengan pertanyaaan.

Aku berpikir keras untuk menjawabnya dengan tepat.

"Iya... anak buahku."

"O....siapa?Aku bisa ikut?Aku sudah selesai menjenguk teman.

"Hmmm...aku juga sudah."Jawabku cepat.

Untuk pertama kalinya aku pulang tanpa melihat Nina. Aku makin tak bisa memejamkan mata. Bagaimana kabarnya? Apakah ada perkembangan yang berarti? Hatiku tersayat....sedih.

                                                                    ****

Aku mengganti jadwal menjenguk Nina. Kali ini aku mendatanginya saat jam makan siang. Walau harus menahan perut agar tak keroncongan dan menggantinya hanya dengan  sepotong roti coklat. Aku menikmatinya. Tak ingin kepergok lagi dengan Esra.  Aku harus tetap menyimpan rahasia ini. Tak mungkin menceritakan semua ini kepada Esra, juga tak mungkin meninggalkan Nina hanya karena aku menikah.

Mungkin ini hari keberuntunganku. Tepat satu tahun Nina berada di rumah sakit ini. Seperti biasa aku mengajaknya bicara. Menggenggam tangannya. Menyapu kulitnya yang halus, menikmati wajah cantiknya. Aku merindukan hari-hari yang pernah kami lewati dulu. Aku mengingat kembali saat menyatakan cinta kepadanya di restoran dekat kantornya, saat pertama kali nonton bioskop berdua atau saat menembus hujan di kegelapan malam karena tak membawa payung. Aku bercerita dengan lugas, dengan hati yang berbunga-bunga, dengan rasa cinta yang dalam. Hingga aku sadar...Nina baru saja menggerakkan jari-jarinya. Aku menciumnya berulang-ulang dan memanggil namanya, berkali-kali....tapi hanya itu.

Harapanku hilang lagi, bahagia yang sempat terasa bagai terhempas dalam gelisah. Nina tak menunjukkan perubahan apa-apa. Sore itu aku baru sempat menyantap sepiring nasi, dengan semangkuk soto ayam agar perut terasa hangat. Mungkin magku kambuh lagi. Aku memesan segelas teh manis hangat yang kunikmati sambil menunggu soto ayam itu tersedia di hadapanku.

"Bang... bisa jemput aku?"

Esra tiba-tiba saja menelpon saat aku mulai menikmati soto ayam yang menghangatkan perutku. Untung saja hari ini aku mengganti jadwal kunjungan ke rumah sakit.

"Bisa...sebentar ya, aku makan dulu tadi siang tidak sempat makan."

"Kenapa?sibuk?"Sahut Esra cemas.

"Ada pekerjaan yang harus diselesaikan."Jawabku cepat.

Untuk pertamakali, aku meluangkan waktu menjemput Esra. Istri yang baru beberapa bulan ini kunikahi. Aku tak ingin Esra menjadikan ini sebagai ritual yang harus dikerjakan setiap hari. 

"Mungkin aku tak bisa menjemputmu setiap hari seperti ini."

"Kamu tidak apa-apa kan?"

"Nggak apa-apa bang. Aku ngerti abang sibuk."

"Malam ini aku cuma ingin mengajak abang makan malam atau melakukan apa saja berdua."Esra berkata sambil menatapku di keremangan malam. Mobil kami melaju menuju sebuah tempat. Coffe shop tempat pertama kali aku diperkenalkan kepada Esra.

Aku hanya memesan secangkir kopi sementara Esra menambahkan sepotong cake coklat kesukaannya. Aku menatapnya saat dia menyantap cake itu. Esra terlihat sangat menikmati. Sampai sepotong cake itu habis, dia baru memandang ke arahku dan berkata,

"Aku punya hadiah untuk abang..."Katanya dengan senang.

"Hadiah apa?"Aku mencoba mengira-ngira.

Esra mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan memperlihatkannya kepadaku.

"Positif..."Katanya sambil tersenyum.

Aku tersenyum sambil menggenggam tangannya. Tak tahu apakah harus merasa senang dengan kehamilan Esra. Harusnya sebagai seorang suami yang normal, kehadiran seorang anak adalah kebahagiaan yang tak terkira. Tapi mengapa tak bisa meluapkannya hingga Esra tahu betapa senangnya aku karena dianugerahi seorang anak.

"Abang tidak bahagia?"Tanyanya tampak sedikit merajuk.

Esra mungkin bisa merasa atau hanya menebak-nebak saja.

"Pasti bahagia...kamu ingin anak kita laki-laki atau perempuan?"Tanyaku sambil menyembunyikan kegundahan.

"Perempuan..."Jawabnya dengan mata yang bersinar.

                                                                  ****

Nina gadis Jawa itu, aku sudah mengenalnya beberapa tahun yang lalu. Saat menghadiri pesta pernikahan sepupuku Maruli. Nina datang bersama kakak laki-lakinya yang ternyata teman SMAku dulu. Perkenalanku dengan Nina di pesta itu membuat aku terbayang-bayang akan sosoknya. Nina bagaikan mimpi yang menjadi nyata. Sejak remaja aku memang membayangkan bertemu seorang perempuan seperti Nina. Kalau hari itu aku bisa menjumpainya, aku tak akan membiarkan asa itu terbang melambung jauh...aku akan mengejarnya dan membawanya dalam bahtera hidup yang sedang kubangun.

"Bagaimana kalau kita ke rumah?"

"Aku harus membawamu bertemu mama dan papa."

"Jangan bang...belum saatnya."

"Abang kan bilang sendiri kalau mama dan papa ingin abang jadian dengan Esra."Jawab Nina dengan wajah sedih.

"Tapi aku tidak mencintainya."

"Aku cuma ingin bersama kamu,punya anak-anak yang lucu dari kamu!"Jawabku seperti ingin meyakinkan Nina.

"Tapi menikah itu tidak cukup dengan cinta,bang."

"Kita perlu restu orangtua."

"Abang tak mungkin mendapatkan itu jika memilihku."

Aku merasa perkataan Nina benar. Tapi mencintai Nina dan memilihnya juga bukan kesalahan. Aku hanya harus menembus tembok adat istiadat dalam keluarga yang jadi aturan bagai undang-undang yang tak bisa dilanggar. 

"Beri aku waktu untuk berpikir."

"Tak mungkin membatalkan pernikahan kita hanya karena kamu tak punya marga."jawabku lagi meyakinkan Nina.

Aku memang bukan pria yang romantis. Tapi Nina pasti tahu aku sangat mencintainya. Nina pasti bisa merasa adat istiadat tak bisa membuatku menghentikan langkah dan melepaskan Nina dari genggaman yang mungkin saja langsung disambar orang. 

Aku tak sempat berandai-andai apalagi memikirkan strategi yang jitu agar mama dan papa sadar, menerima Nina keputusan paling tepat yang akan membahagiakan aku... anak laki- laki satu-satunya ini. Pendarahan di otak Nina yang membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit dan membuat anganku untuk memilikinya memang hanya angan-angan. Menikahi Esra kemudian keputusan berat yang harus kuambil saat mama memintaku memenuhi permintaan terakhirnya. Aku tersudut dalam hidup yang tak punya pilihan. Aku hanya mengikuti aturan tapi bukan hati nurani...

                                                                 ****

"Nina sudah pergi dalam damai."

"Kapan?"

"Sepuluh menit yang lalu."

"Aku secepatnya akan datang!"

"Nanti saja di rumah, kami sudah bersiap-siap mengurus kepulangannya."

Aku mengakhiri pembicaraan dengan gamang. Tak tahu apa yang harus kulakukan. Menangis sedih karena Ninaku telah pergi atau menangis bahagia saat anak perempuaku lahir?

"Bapak Rico Parlindungan?"Suster bertubuh gemuk itu memanggil.

Aku menghampirinya bersama beberapa keluarga.

"Selamat Pak...putrinya sudah lahir."

"Sehat..."Suster itu menjelaskan.

"Bapak mau melihat ke dalam? Atau di kamar bayi saja saat sudah dimandikan?"

"Di kamar bayi saja!"Jawabku dalam kebingungan.

"Siapa namanya pak?"

"Nina....namanya Nina"Jawabku sambil menahan isakan yang tak mungkin kukeluarkan dari  kerongkongan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun