"O....siapa?Aku bisa ikut?Aku sudah selesai menjenguk teman.
"Hmmm...aku juga sudah."Jawabku cepat.
Untuk pertama kalinya aku pulang tanpa melihat Nina. Aku makin tak bisa memejamkan mata. Bagaimana kabarnya? Apakah ada perkembangan yang berarti? Hatiku tersayat....sedih.
                                  ****
Aku mengganti jadwal menjenguk Nina. Kali ini aku mendatanginya saat jam makan siang. Walau harus menahan perut agar tak keroncongan dan menggantinya hanya dengan  sepotong roti coklat. Aku menikmatinya. Tak ingin kepergok lagi dengan Esra.  Aku harus tetap menyimpan rahasia ini. Tak mungkin menceritakan semua ini kepada Esra, juga tak mungkin meninggalkan Nina hanya karena aku menikah.
Mungkin ini hari keberuntunganku. Tepat satu tahun Nina berada di rumah sakit ini. Seperti biasa aku mengajaknya bicara. Menggenggam tangannya. Menyapu kulitnya yang halus, menikmati wajah cantiknya. Aku merindukan hari-hari yang pernah kami lewati dulu. Aku mengingat kembali saat menyatakan cinta kepadanya di restoran dekat kantornya, saat pertama kali nonton bioskop berdua atau saat menembus hujan di kegelapan malam karena tak membawa payung. Aku bercerita dengan lugas, dengan hati yang berbunga-bunga, dengan rasa cinta yang dalam. Hingga aku sadar...Nina baru saja menggerakkan jari-jarinya. Aku menciumnya berulang-ulang dan memanggil namanya, berkali-kali....tapi hanya itu.
Harapanku hilang lagi, bahagia yang sempat terasa bagai terhempas dalam gelisah. Nina tak menunjukkan perubahan apa-apa. Sore itu aku baru sempat menyantap sepiring nasi, dengan semangkuk soto ayam agar perut terasa hangat. Mungkin magku kambuh lagi. Aku memesan segelas teh manis hangat yang kunikmati sambil menunggu soto ayam itu tersedia di hadapanku.
"Bang... bisa jemput aku?"
Esra tiba-tiba saja menelpon saat aku mulai menikmati soto ayam yang menghangatkan perutku. Untung saja hari ini aku mengganti jadwal kunjungan ke rumah sakit.
"Bisa...sebentar ya, aku makan dulu tadi siang tidak sempat makan."
"Kenapa?sibuk?"Sahut Esra cemas.