Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Blogger

Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024 | Juara Favorit Blog Competition Badan Bank Tanah 2025

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Di Balik Gedung Pencakar Langit Jakarta: Krisis Lingkungan yang Terabaikan

16 September 2025   22:21 Diperbarui: 18 September 2025   10:18 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak hanya banjir, pembangunan gedung bertingkat juga mempercepat penurunan permukaan tanah, sebuah ancaman yang membuat Jakarta kian rentan tenggelam.

Gedung-gedung tinggi membutuhkan pasokan air bersih dalam jumlah besar, tetapi infrastruktur air di kota ini kerap tidak memadai. Banyak pengelola gedung lantas menyedot air tanah secara berlebihan tanpa pengawasan yang ketat.

Menurut konsorsium Jakarta Coastal Defence Strategy, penurunan muka tanah di Jakarta telah terjadi sejak 1974, dengan 40% wilayah kota berada di bawah permukaan laut pada 2010 (Jakarta.go.id, 2010). Yang lebih mengkhawatirkan lagi, proyeksi memperkirakan bahwa dalam 10-20 tahun ke depan, separuh wilayah Jakarta berpotensi berada di bawah air laut.

Data menunjukkan penurunan tanah hingga 4,1 meter di Muara Baru, Cilincing, serta 2,5 meter di Cengkareng Barat dan 1,97 meter di Daan Mogot antara 1974 hingga 2010 (JCDS, 2010).

Penyedotan air tanah yang tak terkendali ini menjadi biang keladinya, mengancam masa depan kota. Di sisi lain, gedung-gedung bertingkat turut memperburuk krisis iklim melalui efek rumah kaca.

Beton, aspal, dan kaca yang mendominasi bangunan-bangunan ini menyerap dan memerangkap panas, menciptakan fenomena pulau panas perkotaan.

Hilangnya ruang hijau berarti berkurangnya vegetasi yang mampu menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen. Akibatnya, panas yang seharusnya dipantulkan ke luar angkasa terperangkap oleh gas rumah kaca di atmosfer, membuat suhu Jakarta terus meningkat (Santoso, 2020).

Fenomena ini tidak hanya memperparah krisis iklim global, tetapi juga merusak kualitas udara yang sudah buruk di ibu kota, dengan lapisan ozon yang kian menipis.

Risiko lain yang tak kalah seriusnya adalah bahaya kebakaran pada gedung bertingkat. Penelitian menunjukkan bahwa bangunan tinggi memiliki risiko lebih besar dibandingkan bangunan rendah (Yani, 2018).

Di Jakarta, kemacetan lalu lintas sering menghambat akses pemadam kebakaran, sementara sistem proteksi kebakaran di banyak gedung masih jauh dari standar.

Hal ini meningkatkan risiko kerugian material dan bahkan korban jiwa. Lantas, bagaimana cara untuk mengatasi ancaman ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun