Persis di depan Rusunawa Pasar Rumput, Jakarta Selatan, saya menyaksikan pembangunan pilar LRT fase 1B (Velodrome-Manggarai).
Yang bikin saya ngilu adalah tiang-tiang ini dibangun dekat dengan Sungai Ciliwung. Tentu ini sangat berisiko ambruk jika terjadi longsor.
Jakarta tak pernah berhenti berdetak, terus menjulang dengan infrastruktur dan gedung-gedung pencakar langit yang megah.
Dari kawasan elit di Sudirman, Thamrin, dan Kuningan hingga pinggiran seperti TB Simatupang, BSD, dan Sunter, bangunan bertingkat kini mendominasi lanskap ibu kota.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat menjadi pendorong utama, namun di balik kemegahan ini, dampak ekologis yang serius mengintai.
Banjir yang kian sering, tanah yang terus merosot, suhu kota yang terus meningkat, hingga risiko kebakaran mengancam keberlanjutan Jakarta.
Cerita tentang kemajuan ini, ternyata tak lepas dari konsekuensi lingkungan yang perlu segera diatasi. Maraknya pembangunan gedung bertingkat telah mengubah wajah Jakarta, tetapi juga mengurangi ruang resapan air secara drastis.
Penelitian di kawasan Sudirman, Thamrin, dan Kuningan mengungkapkan bahwa lebih dari 90% lahan perkantoran telah diperkeras dengan beton atau aspal (Media Indonesia, 2018). Padahal, idealnya, 30% lahan setiap kavling harus dialokasikan untuk ruang terbuka hijau agar air hujan dapat meresap ke dalam tanah.
Ketika hujan turun, air yang seharusnya diserap tanah malah mengalir ke jalan dan saluran drainase yang sering kali tidak mampu menampung. Akibatnya, banjir menjadi tamu tak diundang di musim hujan, merendam jalanan dan permukiman.
Kurangnya ruang hijau ini juga mengganggu siklus air alami, mengurangi ketersediaan air tanah yang krusial bagi kota (Pramono, 2019).