Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Blogger

Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024 | Juara Favorit Blog Competition Badan Bank Tanah 2025

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Di Balik Gedung Pencakar Langit Jakarta: Krisis Lingkungan yang Terabaikan

16 September 2025   22:21 Diperbarui: 18 September 2025   10:18 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung-gedung pencakar langit Jakarta. Gambar diambil dari lantai 22 Rusunawa Pasar Rumput, Jakarta Selatan. (Foto: Billy Steven Kaitjily)

Persis di depan Rusunawa Pasar Rumput, Jakarta Selatan, saya menyaksikan pembangunan pilar LRT fase 1B (Velodrome-Manggarai).

Yang bikin saya ngilu adalah tiang-tiang ini dibangun dekat dengan Sungai Ciliwung. Tentu ini sangat berisiko ambruk jika terjadi longsor.

Jakarta tak pernah berhenti berdetak, terus menjulang dengan infrastruktur dan gedung-gedung pencakar langit yang megah.

Dari kawasan elit di Sudirman, Thamrin, dan Kuningan hingga pinggiran seperti TB Simatupang, BSD, dan Sunter, bangunan bertingkat kini mendominasi lanskap ibu kota.

Pertumbuhan ekonomi yang pesat menjadi pendorong utama, namun di balik kemegahan ini, dampak ekologis yang serius mengintai.

Banjir yang kian sering, tanah yang terus merosot, suhu kota yang terus meningkat, hingga risiko kebakaran mengancam keberlanjutan Jakarta.

Cerita tentang kemajuan ini, ternyata tak lepas dari konsekuensi lingkungan yang perlu segera diatasi. Maraknya pembangunan gedung bertingkat telah mengubah wajah Jakarta, tetapi juga mengurangi ruang resapan air secara drastis.

Penelitian di kawasan Sudirman, Thamrin, dan Kuningan mengungkapkan bahwa lebih dari 90% lahan perkantoran telah diperkeras dengan beton atau aspal (Media Indonesia, 2018). Padahal, idealnya, 30% lahan setiap kavling harus dialokasikan untuk ruang terbuka hijau agar air hujan dapat meresap ke dalam tanah.

Ketika hujan turun, air yang seharusnya diserap tanah malah mengalir ke jalan dan saluran drainase yang sering kali tidak mampu menampung. Akibatnya, banjir menjadi tamu tak diundang di musim hujan, merendam jalanan dan permukiman.

Kurangnya ruang hijau ini juga mengganggu siklus air alami, mengurangi ketersediaan air tanah yang krusial bagi kota (Pramono, 2019).

Tak hanya banjir, pembangunan gedung bertingkat juga mempercepat penurunan permukaan tanah, sebuah ancaman yang membuat Jakarta kian rentan tenggelam.

Gedung-gedung tinggi membutuhkan pasokan air bersih dalam jumlah besar, tetapi infrastruktur air di kota ini kerap tidak memadai. Banyak pengelola gedung lantas menyedot air tanah secara berlebihan tanpa pengawasan yang ketat.

Menurut konsorsium Jakarta Coastal Defence Strategy, penurunan muka tanah di Jakarta telah terjadi sejak 1974, dengan 40% wilayah kota berada di bawah permukaan laut pada 2010 (Jakarta.go.id, 2010). Yang lebih mengkhawatirkan lagi, proyeksi memperkirakan bahwa dalam 10-20 tahun ke depan, separuh wilayah Jakarta berpotensi berada di bawah air laut.

Data menunjukkan penurunan tanah hingga 4,1 meter di Muara Baru, Cilincing, serta 2,5 meter di Cengkareng Barat dan 1,97 meter di Daan Mogot antara 1974 hingga 2010 (JCDS, 2010).

Penyedotan air tanah yang tak terkendali ini menjadi biang keladinya, mengancam masa depan kota. Di sisi lain, gedung-gedung bertingkat turut memperburuk krisis iklim melalui efek rumah kaca.

Beton, aspal, dan kaca yang mendominasi bangunan-bangunan ini menyerap dan memerangkap panas, menciptakan fenomena pulau panas perkotaan.

Hilangnya ruang hijau berarti berkurangnya vegetasi yang mampu menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen. Akibatnya, panas yang seharusnya dipantulkan ke luar angkasa terperangkap oleh gas rumah kaca di atmosfer, membuat suhu Jakarta terus meningkat (Santoso, 2020).

Fenomena ini tidak hanya memperparah krisis iklim global, tetapi juga merusak kualitas udara yang sudah buruk di ibu kota, dengan lapisan ozon yang kian menipis.

Risiko lain yang tak kalah seriusnya adalah bahaya kebakaran pada gedung bertingkat. Penelitian menunjukkan bahwa bangunan tinggi memiliki risiko lebih besar dibandingkan bangunan rendah (Yani, 2018).

Di Jakarta, kemacetan lalu lintas sering menghambat akses pemadam kebakaran, sementara sistem proteksi kebakaran di banyak gedung masih jauh dari standar.

Hal ini meningkatkan risiko kerugian material dan bahkan korban jiwa. Lantas, bagaimana cara untuk mengatasi ancaman ini?

Pemerintah perlu memperketat regulasi pembangunan, memastikan setiap proyek menyediakan ruang terbuka hijau sesuai standar. Taman kota dan atap hijau bisa menjadi solusi praktis di tengah keterbatasan lahan. Selain itu, pengawasan ketat terhadap penyedotan air tanah harus diterapkan, disertai dengan perluasan jaringan air bersih dan penggunaan air daur ulang.

Desain bangunan ramah lingkungan, seperti penggunaan material yang meminimalkan pantulan panas dan sistem ventilasi alami, juga dapat mengurangi efek rumah kaca.

Untuk risiko kebakaran, standar keselamatan harus ditegakkan, termasuk pemasangan sprinkler otomatis dan jalur evakuasi yang memadai.

Pembangunan gedung bertingkat di Jakarta adalah cerminan kemajuan, tetapi tanpa langkah bijak, dampak ekologisnya dapat menghancurkan kota.

Banjir, penurunan tanah, efek rumah kaca, dan risiko kebakaran adalah peringatan dini bahwa pembangunan harus seimbang dengan pelestarian lingkungan. Dengan perencanaan yang matang dan kolaborasi antara pemerintah, pengembang, dan masyarakat, Jakarta dapat tetap menjulang tanpa mengorbankan keberlanjutan.

Masa depan ibu kota ada di tangan kita, dan kini saatnya untuk kita bertindak sebelum terlambat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun