Aku mau menendang gelas kecemasan,
kubanting piring-piring keresahan,
kubenturkan pikiran yang pongah
ke dinding hukum bernama ketabahan.
Kuhisap amarah dari udara kering,
kuminum kecewa di cangkir hening,
kugebrak meja yang selalu diam
seperti Tuhan yang sabar mendengar makian.
Aku bukan ingin memberontak,
aku cuma muak jadi bijak
di tengah realita yang kerap
menampar sambil bilang: "Sabar ya, Nak."
Kubakar daftar kebutuhan harian
dengan api yang kupinjam dari dapur tetangga
sebab korekku sudah pensiun
dan minyak goreng cuma jadi legenda.
Kumasukkan doa-doa ke dalam rice cooker
biar matangnya bareng dengan harapan
tapi tiap tutupnya kubuka,
yang keluar cuma uap kepasrahan.
Di luar, dunia berlomba jadi kaya
di dalam, aku sibuk ngitung detik sambil mikir
"Kalau aku gagal, siapa yang ajari anakku
cara bertahan hidup dengan senyum?"
Setiap pagi aku jadi arsitek warisan,
membangun rencana dengan bata keyakinan
dan semen yang mulai kedaluwarsa
sebab semangatku sering kena hujan cicilan.
Aku bukan tak mau berjuang
tapi gaji harapan tak selalu cair tepat waktu
kadang mepet tanggal tua
kadang cuma datang lewat status motivasi WhatsApp grup keluarga.
Anakku tanya,
"Kenapa ayah gak beli mainan baru?"
Aku jawab:
"Karena ayah sedang menabung harapan, Nak,
dan mainan itu... kadang harus dikalahkan oleh LPG 3 kilo."
Istriku diam,
tak pernah marah
tapi aku tahu:
diamnya adalah bentuk paling sabar
dari luka yang capek bicara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI