Mohon tunggu...
gurujiwa NUSANTARA
gurujiwa NUSANTARA Mohon Tunggu... Konsultan - pembawa sebaik baik kabar (gurujiwa508@gmail.com) (Instagram :@gurujiwa) (Twitter : @gurujiwa) (Facebook: @gurujiwa))

"Sebagai Pemanah Waktu kubidik jantung masa lalu dengan kegembiraan meluap dari masa depan sana. Anak panah rasa melewati kecepatan quantum cahaya mimpi" ---Gurujiwa--

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Terasing di Surga Tersisa Bumi, Baduy

23 Oktober 2021   00:08 Diperbarui: 23 Oktober 2021   00:12 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jernih air sungai Baduy menyegarkan batin (kompas. Com/Anggita Muslimah Maulidya Prahara Senja)

Monyet

monyet  !
Ayah sungguh terlalu , telah membuang aku ke pelosok tak beradab kampung  Baduy. Sudah tiga hari aku ditinggal di rumah kayu berbilik bambu. Tanpa wifi, TV dan gajet kesayanganku. Semua tehnologi terkini kubawa kesini, tapi semua tak bisa berfungsi, karena tak ada listrik disini.

Mandi pun tak pakai sabun, dan shampo, harus pakai bahan alami. Tak ada kamar mandi, harus menceburkan diri turun ke kali jernih berbatu dengan jembatan bambu melintang diatasnya. Bagaimana, aku bisa mandi bebas tanpa rasa malu, sementara penduduk lalu lalang diatas melewati tubuh telanjangku. Mau menenggelamkan diri, agar ketelanjangan diriku tak terlihat. Air Sungainya dangkal, jernih. Jadilah alam bebas menonton tubuhku. Huuh  !

Sudah tiga hari lambat berlalu, kulalui dalam gelap gulita di kampung sepi. Tak ada tontonan apapun,  alunan musik, sepi berita. Sungguh hidup terbelakang yang aneh, semua kemajuan tehnologi ditolak habis, dianggap tabu. Tidak kunjung masuk akal di pikiranku.

Sampai  baju dan celana yang kubawa habis, kotor, aku malas  mencuci. Karena sudah gatal di sekujur badan, akhirnya, kuterima juga baju pangsi  hitam hitam pinjaman yang disodorkan Acih,  Anak Ambu Sapri tempatku menginap yang baik hati.

Gadis lugu berwajah bersih, yang tak pernah bergincu itu, prihatin dengan. Keadaanku yang setres tak keruan, di habitat yang tak ada sarana peradaban maju sama sekali,  maka ia angsurkan baju kakaknya, Sapri yang tengah berkelana juaalan madu hutan, kain tenun, asesoris, tas rajutan dari akar pohon yang viral waktu dipakai Presiden di acara resmi kenegaraan belum lama kemarin.

"Pakai aja baju pangsi Bang Sapri ini, lama dia pergi, jualan jalan kaki ke kota, Bang Dion ini pakai, pamali, tabu habis mandi pakai baju yang belum dicuci, " Bujuk Acih sambil tersenyum tulus, mata polosnyaa terbelalak indah, bikin jantung berdegup tak  keruan. Lebih-lebih saat menerima baju itu, tangan kami tak sengaja bersentuhan. Seru  !.

"Pamali, tabu...?! , " Tanyaku tak mengerti, terlalu banyak hal yang  tidak boleh di kampung barbar ini menurutku. " Acih tadi kamu bilang, Bang Sapri ke kota jalan kaki ya, apa nggak punya banyak ongkos naik bis  ?, " Tanyaku penasaran.

"Hus, pamali nanya begitu Bang, tapi baiklah Bang Dion kan orang kota, leluhur kami melarang semua naik. Kendaraan, kemanapun kami berjalan harus jalan kaki!, ' jelas gadis berambut panjang, berbaju kebaya dan memakai kain panjang berwarna biru indah,  soal aturan adat yang amat aneh. Dion sulit menerima penjelasan itu, di jaman yang serba modern ini

" Kan menyiksa diri namanya, tinggal naik,  duduk, merem, sampai tujuan. Ini, harus panas-panas jalan, telanjang kaki. Apa nggak sakit itu. Aneh?, " Tanyaku makin penasaran. Buatku yang amat. Memuja dan dibuat nyaman tehnologi, pilihan dan sikap hidup warga kampung terbelakang berjarak, bahkan menolak memakai hasil kemajuan peradaban sungguh sikap bodoh dan terbelakang.

"Kami harus patuh menjalani larangan leluhur, kalau Bang Sapri misalnya dia diam-diam naik bisa karena ada duit hasil dagang,  bisa sial semua, walaupun nggak ada yang tahu, atau kena denda,  bisa juga dikeluarkan dari Kampung adat. Apes Bang Dion, " Jelas perempuan kampung itu dengan muka cemas. Uraiannya sangat tidak logis, menurutku, kepatuhan buta, budak adat yang menjerumuskan anak turunnya, menurut ku. Tidak dapat kupahami, ujungnya aku hanya garuk - garuk kepala tak mengerti.

***

Sudah nyaris setahun, aku mengalami insomnia, sulit tidur, tak bisa fokus berifikir, setrres berkelanjutan, sejak gagal ikut tender onlen, dan usaha restoku tutup. Pandemi yang berkepanjangan kemarin, membuat segala gerak langkahku tertutup. Buntu.
Sampai - sampai pernikahanku yang sudah tinggal diujung bulan pelaksanaan, harus ditunda, hingga waktu yang tak tentu. Sungguh menyesakkan dada.

Terus terang, aku tidak percaya diri berkomitmen pada pasangan di saat usaha terpuruk, puluhan karyawan terpaksa ku PHK. Aku setres berat.

Beberapa kali ketemu psikolog dan psikiater, keadaanku tidak kunjung membaik.

Sampai akhirnya, ayahku 'membuangku' ke kampung Baduy ini, karena di rumah aku mulai sering bikin masalah.

Aku sulit tidur, bila TV tidak dinyalakan dengan sound sistem keras - keras,  lampu kamar dinyalakan terang, korden jendela dibuka, dan semua lampu taman menyala terang. Malam kulalui dengan susah payah. Apalagi siang hari, aku larut dalam gajet, main game onlen, bermedia sosial tanpa henti.

Mengurung diri di kamar, biasa pesan makanan apa saja, lewat aplikasi onlen.

 Aku makan berlebihan hingga tubuhku mulai gendut melar.
Mungkin karena frustasi, gagal nikah, dan usaha jatuh, juga blokade selama pandemi, membuatku mulai berperilaku aneh.

Tidak suka keluar rumah, apalagi bergaul. Tidak mandi berhari-hari,  tidak bersih-bersih rumah, bungkus makanan bekas pesanan onlen pun, kubiarkan bertumpuk tinggi. Meski bau dan semrawut, aku tak perduli.

Sampai ayahku datang dan marah besar, aku dipaksa mandi dengan disemprot slang air taman. Lalu rambut dan jenggot yang mulai panjang tak teratur dipotong beliau sampai bersih, nyaris botak. Walau saat menggunting, terlihat ekspresinya emosi dan penuh keprihatinan, tapi harus kuakui,. hasil. Cukurannya bagus juga. Aku suka.

Namun, keputusan Ayah membawa aku ke Kampung Baduy yang ada di pojok wilayah hutan berbukit Lebak, membuatku kesal juga. Apalagi begitu sampai aku ditinggal begitu saja,  tidak dibekali uang, dompet dan gajet m-bangking-ku pun disita alias dibawa menyebalkan.

'Dion, istirahatlah disini, perbaiki kekusutan batin dan fikiranmu disini. Sebulan lagi Ayah jemput  !, " Tegas Ayah tanpa kompromi sebelum meninggalkan aku kembali ke kota.

Sebulan ?
Baru seminggu saja, aku sudah mulai merasa bosan, terkungkung dan terkurung di sebuah kampung terbelakang. Batinku merutuki aksi 'gila' Ayah padaku. Lalu apa arti semua ini?

***

Bila sepekan pertama aku hanya makan,  tidur, dan sedikit bersenang-senang saat mandi di kesegaran bening air sungai.
Memasuki pekan kedua, 'pembuanganku' disini, aku mulai sering berjalan - jalan. Naik turun jalan setapak di sekitar kampung. Kadang menemukan. Mangga, rambutan masak. Sederhana saja tapi. Mengasyikkan.

Aku juga. Mulai bergaul dengan pemuda setempat, belajar memanen madu hutan. Juga belajar membuat asesoris gelang,  kalung,  tas dari akar pohon. Membosankan awalnya. Tapi kegiatan iseng, mengisi waktu ini, lama -lama mengasyikan juga.

Makan buah dingin,  dari pendingin toko freshmart. Berbeda sensasinya dengan makan buah segar langsung petik dari pohon, bahkan beberapa kali aku makan buah jatuhan, jambu, kecapi, mangga, sisa dimakan kelelawar. Meski koyak kulitnya, tak keruwan tapi manis luar biasa. Meski awalnya agak jijik, lama - lama makan buah sisa makan binatang pemangsa, asyik juga. Buah pilihan mereka selalu matang dan manis sempurna.

***

Begitulah, pelan - pelan dengan berat hati, akhirnya aku bisa menerima juga, hidup tanpa listrik, gajet dan hanya jalan kaki kemana-mana. Sangat sehat, pelan - pelan badanku yang gembrot di perut mulai menyusut bagus. Tubuh mulai langsing, bugar dan stamina kembali prima. Mungkin lantaran setiap hari bergerak melakukan aktifitas fisik.

"Gimana Nak Dion, betah disini, di kampung yang tak ada hasil budaya maju, semua yang dari masa lalu masih dipelihara baik disini  ?, " Tanya Pu'un, sesepuh yang paling dituakan di Kampung Baduy saat makan hidangan makan malam, dengan nasi merah dan lauk ikan asin, lalapan tentu plus sambal terasi yang menggoyang lidah.

"Ayo Nak, nasi meriahnya ditambah lagi, biar kuat badan dan  baik batinnya lagi. Ini nasi yang kita makan ini hasil panen 10 tahun lalu dan ditaruh di leuit,  lumbung padi kami, " Papar Pu'un lembut, sambil menguraikan, meski tempat penyimpanan hasil panen padi dan hasil huma lain, hanya terbuat dari bilik bambu, atap daun sirap dan kayu panggung belaka. Tapi terbebas dari hama tikus dan  ancaman bahaya kebakaran. Lantaran Leuit dibangun jauh dari pemukiman warga Baduy.

Di depan pemimpin adat berbaju putih putih, pemuda ini mati kutu. Meski tampilannya sederhana, tokoh pemimpin sederhana ini memiliki wawasan kharisma yang tak terkatakan.  Bagaimana mungkin suku terasing yang menolak semua tehnologi baru, ternyata memelihara kekayaan kearifan lokal tidak ternilai, cara - cara lama dari tradisi leluhur yang sebetulnya istimewa.

Bisa mengawetkan beras puluhan tahun dan hal-hal istimewa lain justru dengan proses yang bebas emisi enerji. Nol sama sekali, tanpa. Listrik, pendingin AC, tidak memakai bahan bakar fosil. Bukan main.

 Dion yang memuja kenyamanan dari laju tehnologi. Terhenyak, kagum dan kehabisan kata. Pelan tapi pasti , anak muda ini memahami konsep Net Zero Emissions alias bersih nol emisi yang pernah dipelajari , semua ada disini, dilakukan sebagai laku keseharian yang luhur dan cerdas. Walau terlihat kampungan tapi amat canggih menyembuhkan bumi yang mulai demam,  efek gas rumah kaca.

Disini setiap suap nasi merah hangat yang dia suap dengan tangannya, terasa begitu pulen nikmat dan berarti. Bayangkan semua yang tersaji di piringnya, adalah hasil. Kerja keras panen bersama, satu dekade lalu.
Hmmm.

***
Ketika Ayahnya menjemput pulang, tepat empat minggu kemudian. Justru Dion memutuskan untuk tinggal lebih lama di kampung Baduy, dia ingin lebih banyak belajar kedalaman kebijakan lehluhur  pendahulu. Soal perlakuan hormat pada makanan, hutan larangan, hutan tutupan. Penghormatan pada alam.

 Dalam batin, ia berterima kasih pada kultur budaya Baduy yang menyelamatkan arah hidupnya. Sebagai rasa terima kasih, ia akan ikut membangun, melindungi menyelamatkan kampung unik yang amat maju peradaban berfikir dan ada perilaku hidup berwawasan keberlanjutannya.

Di Baduy Dion bisa belajar menyelamatkan bumi hijau, biru, bersih yang lebih baik bagi generasi berikutnya, renung Dion dalam-dalam.Semoga, ia bisa diberi kesempatan ikut melestarikan cara hidup yang amat keren dan berwawasan lingkungan maju di surga dunia yang tersisa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun