18 tahun lalu Bahkan kita terpentang jauh Sebagaimana layang-layang soangan Memburu angin jodoh Syukurlah kita bertemu Jodoh sejati KU
Ketika kucium juga tangan mu. Sejatinya aku mencium kekotoran niat dan laku lancang
Aku tahu kekasihku Pulang padamu Tapi ku tak cemburu, Justru menggebu menyerahkan segala wangi cantiknya kehalusan warna nada suaranya saat menyanyi orkestra cinta di panggung hidup Penuh tepuk tangan Untukmu Aku tahu kekasihku Kembali dalam pelukan hangatmu Penuh pikat Sehingga mungkin sudah melupakan seluruh peluh kenangan akan aku Sampai habis terkikis jaman, Tapi aku tak risau Bahkan gemetar sedikitpun Aku tahu kekasihku Kini bukan milikku Tak jua secuil kenangan manis tersisa Di sajian upacara teh sore, Tak ada apa apa lagi disini Kecuali rintih Jerit parau Hati yang sendiri Dimakan sepi Bila puisi ini obat Bila lagu yang kucipta ini jamu Bila lukisan masterpiece tentang kamu adalah candu jiwa Kenapa aku tak boleh berharap bertemu kekasih Yang bisa mencintaiku Seperti kumencintainu Dulu Kekasih Bila ku kau panggil pulang Apakah jejak cinta kami Akan terbaca Di puisi Lagu Lukisan berjiwa kisah cinta kami Atau jejak kasih mesra kami Akan hilang disapu angin waktu?!. (gurujiwa, Ambilah Kekasbihku Demi Waktu, 22012022,22.38)
Tetes hujan masih saja jatuh. Berguguran layaknya airmata bidadari tersesat di bumi
Aku terbangun keras dari tidur siang yang pulas Kota yang kuakrabi sejak lahir, berubah esktrim Warna rumahnya kusam tua semua Langitnya abu abu membesi Jalanannya pun berbatu koral Lumpur merah disana sini Aspal hotmix-nya Entah dikelupas raksasa misterius dari negeri belahan mana?. Nalar dan pikirku tak kunjung sinkron Mengapa kenangan visual akan lingkungan tempat ku dibesarkan bisa berbeda Bumi dan langit, Apakah aku berjalan disisi berbeda Dari jalan lurus kampung paralel Dimensi sebelah dari realita hari biasaki Apakah aku terpelanting masuk portal. Masa lalu yang tak. Kusadari Atau ini hanya efek kurang kopi seharian ini?. Sepatu sobekku tertatih berjalan melewati jalan tak ada ujung ini. Entah kemana semua kendaraan bermotor, mobil, motor tak kulihat juga tak kudengar raung bisingnya, sedari tadi. Suasana sungguh hening Sebening beningnya Sampai daun jatuh pun akan tertangkap telingamu Dari jauh kudengar ringkik sekumpulan kuda menderap Menderu ke arahku, lalu sekumpulan marsose, prajurit VOC Belanda sontak. Mengepung ku dengan senapan laras panjang membidik. Dadaku, Ujung bayonetnya berkilauan mengancam leher nyaliku "Tangkap dia, ektrimis inlander teman si Pitung! ", kata sang komandan. Pasukannya segera turun dari pelana kudanya. Lalu dengan sadisnya, mereka mengikat tanganku dengan tali ijuk kuat kuat. Segera kulit tanganku. MemerahMemerah, sakit, berdarah. Dengan kasar dan jumawanya aku diseret dengan tali harus mengikuti kecepatan kuda berlari, badanku terjatuh, terseret, kulitku koyak disana sini. Pedih juga amat perih. Tanpa salah, tanpa ampun aku dijebloskan ke dalam penjaranya yang gelap dan bau. Kencing kuda. Aku terjatuh, kepalaku terbentur dinding sel sempit itu. Memuakkan!. Pelan pelan seiring sinar surya masuk dari celah celah penjara berpendingin ruang mewah itu, kulihat badanku memakai baju rompi oranye tahanan KPK. Hah? !. Kenapa aku berpindah ke tempat lebih bejat ini, padahal aku tak korupsi apa apa, hanya korupsi waktu. Apakah Korupsi waktu adalah penghianatan paling tak termaafkan di abad edan ini?!.