Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Semerbak Lavender di Kintamani: Bab Sepuluh

6 Oktober 2025   18:26 Diperbarui: 6 Oktober 2025   18:26 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Sebelumnya....

Sore berikutnya, saat angin kembali menghempaskan awan jauh melintasi daratan datar dan cahaya kembali terbenam dalam guratan-guratan keperakan di rerumputan, Anggun pergi ke rumah Tisa.

Undangannya sederhana---sebuah catatan tulisan tangan di kotak surat, dengan tinta dan huruf-huruf melengkung yang rapi.

"Minum Teh di rumahku. Jam 4 sore. Waktunya."

Tanpa sapaan, tanpa nama, hanya pesan singkat begitu saja. Namun Anggun langsung tahu siapa pengirimnya. Hanya Tisa yang menulis dengan campuran ketenangan dan ketegasan seperti itu.

Saat melangkah melewati gerbang taman, dia memperhatikan bahwa meskipun baru awal musim hujan, mawar-mawar di sepanjang pagar mekar sesekali - percikan warna-warna kecil yang semarak di antara dedaunan yang layu. Rumah Tisa tampak seperti biasa, seolah tak banyak berubah selama puluhan tahun. Hanya daun jendelanya yang baru dicat, biru tua yang kontras dengan batu bata lapuk.

Tisa membuka pintu sebelum Anggun sempat mengetuk. Dia mengenakan selendang rajutan di bahunya dan mengikat rambut peraknya ke belakang membentuk sanggul. Matanya, cokelat kelabu muda dan tenang, menatap Anggun dengan ekspresi yang sulit ditafsirkan - campuran antara harapan dan kesepakatan, dan mungkin sedikit kekhawatiran.

"Kamu tepat waktu," katanya, sambil minggir dan membiarkan Anggun masuk.

Rumah itu beraroma pai susu, timi atau oregano kering, dan - Anggun hampir tak percaya - lavender. Mungkin itu hanya imajinasinya, dipicu oleh pikirannya beberapa hari terakhir. Tapi aroma itu tetap ada, seperti kenangan yang tak kunjung hilang.

Di ruang tamu, meja teh tua tertata rapi. Sepotong kayu ek gelap bundar, di atasnya terdapat nampan perak berisi porselen halus. Tekonya terbuat dari besi cor hitam, dihiasi pola-pola halus yang mengingatkan pada rumput laut dan ombak. Di samping teko terdapat kluntjes kecil yang dipanggang halus - bongkahan gula putih yang dimaksudkan untuk meleleh perlahan dalam teh. Itu bukan undangan minum teh biasa. Itu semacam upacara - sederhana namun bermakna.

Tisa menunjuk ke sebuah kursi berlengan di dekat perapian, apinya redup.

"Duduklah. Aku tidak ingin menunda momen ini. Beberapa hal membutuhkan kehangatan, tetapi juga kejelasan."

Anggun mengangguk, melepas syalnya dan duduk. Jari-jarinya tanpa sadar meluncur di atas sandaran tangan, mencari celah pada tekstur kain yang kasar.

Tisa menuangkan teh, perlahan dan hati-hati, membiarkan aroma kaya dari campuran itu memenuhi udara. Kemudian dia meletakkan teko, duduk, mengalihkan pandangannya ke Anggun - dan terdiam.

Keheningan itu bukannya canggung, tetapi seperti tarikan napas di antara dua pikiran. Baru setelah Anggun menyesap seteguk pertama, Tisa mulai berbicara. Suaranya tenang namun tegas, seperti suara laut saat tenang tanpa badai. Hanya napas.

"Aku berpikir lama, apakah aku harus memberitahumu apa yang kutahu," dia memulai. "Tidak semuanya indah. Dan tidak semuanya adil. Tapi banyak yang benar - bahkan jika kamu tak ingin melihatnya."

Anggun menatapnya. Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tatapan Tisa menahannya.

"Malini adalah wanita yang kuat," lanjut Tisa. "Lebih kuat dari yang sering dia yakini. Tapi dia mencintai. Dan dia kehilangan. Pierre bukanlah mimpi. Dia nyata. Dan dia ada di sini. Di pertanian ini. Sama seperti dirimu sekarang."

Anggun merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Seolah-olah sebuah jendela terbuka membiarkan cahaya dingin masuk.

"Mereka tinggal bersama?"

Tisa menggelengkan kepalanya.

"Tidak terang-terangan. Tidak seperti yang diinginkan. Itu adalah masa ketika nama lebih berbobot daripada hati. Pierre orang Prancis, tapi ibunya Belanda. Dan meskipun perang sudah lama berlalu, desa menyimpan kenangannya seperti luka baru. Tidak mudah mencintai dengan cara yang berbeda. Tidak dulu. Mungkin juga tidak sekarang."

Dia terdiam sejenak, meletakkan dua potong gula batu ke dalam cangkirnya, dan memperhatikannya meleleh dengan suara gemerisik.

"Mereka bertemu diam-diam, di gubuk tua di belakang kebun lavender. Di tempat yang sama tempat kamu menemukan buku catatan kemarin. Itu bukan kebetulan. Malini sengaja meninggalkannya di sana. Dia tahu seseorang akan datang, suatu hari nanti. Mungkin kamu."

Anggun merasakan kehangatan teh tiba-tiba tak lagi memuaskannya. Dia menggigil.

"Dan kenapa  ... dia pergi?" Suaranya nyaris tak terdengar seperti bisikan.

Tisa menatapnya lama, lalu menjawab. "Karena cinta tak selalu cukup untuk melawan dunia. Tibalah saatnya satu surat cukup untuk menghancurkan segalanya. Surat yang tak pernah ditulis Malini. Dia yakin Malini telah meninggalkannya. Dan Malini pun yakin dia telah pergi. Surat itu palsu. Aku tahu siapa yang menulisnya. Tapi itu tak penting. Yang penting, mereka tak pernah bertemu lagi."

Anggun meletakkan cangkirnya. Tangannya sedikit gemetar.

"Dan dia tak pernah... mencoba mencarinya?"

"Oh ya," kata Tisa pelan. "Tapi terkadang kamu tak menemukan seseorang karena kamu telah kehilangan dirimu sendiri."

Kalimat itu begitu menusuk. Dan Anggun tahu ini bukan hanya tentang Malini.

"Kenapa kamu menceritakan ini padaku sekarang?" tanyanya setelah beberapa saat.

Tisa mencondongkan tubuh ke depan, matanya menatap lurus ke dalam hati Anggun.

"Karena kamu pikir kebun itu hanya tanah. Sesuatu yang bisa dijual. Tapi itu kenangan. Rasa bersalah. Harapan. Dan cinta. Semua itu hidup di sini. Bukan hanya di dinding atau kebun. Tapi dalam apa yang kamu rasakan saat berjalan di rerumputan. Dalam apa yang kamu dengar saat angin memanggilmu."

Anggun terdiam. Dia tidak mengerti segalanya. Tapi dia merasakannya. Dan itu sudah cukup untuk saat itu.

Tisa bersandar, menyesap lagi, lalu tersenyum.

"Kamu bukan Malini. Tapi kamu juga bukan sekadar Anggun dari Florence, Italia. Kamu berada di antara dua garis. Dan kau harus memutuskan garis mana yang ingin kau terus gambar."

Itu bukan undangan. Itu hadiah. Kebebasan untuk memilih.

Saat Anggun berdiri untuk mengucapkan selamat tinggal, senja telah tiba. Langit bermandikan cahaya merah keemasan yang jatuh melalui jendela seperti berkah terakhir. Tisa menemaninya ke pintu dan meletakkan tangannya di lengannya.

"Apa pun yang kamu lakukan - lakukanlah dengan sepenuh hati. Maka itu akan benar."

Anggun mengangguk. Dia tak bisa berkata apa-apa. Namun ada sesuatu yang bergejolak dalam dirinya. Sesuatu yang lama. Sesuatu yang baru.

Mungkin keduanya.

Ketika dia berjalan kembali ke halaman, dia merasakan kesejukan senja di kulitnya. Mendengar kerikil berderak di bawah langkah kakinya. Mencium aroma hujan yang mendekat. Namun, semuanya terasa lebih cerah dari sebelumnya.

Pintu rumah terbuka, secercah cahaya jatuh di ambang pintu. Dan di dalam, keheningan menanti - bukan kekosongan, melainkan ruang yang menunggu untuk diisi.

Anggun masuk. Dan saat dia menutup pintu di belakangnya, dia tahu dia telah menemukan gema masa lalu - dan tak ingin lagi menghindarinya.

Keesokan paginya, dia akan pergi ke Italia. Namun malam ini---milik lahan kebun. Milik angin. Dan mungkin sedikit milik Pierre dan Malini juga.

Karena beberapa kisah tak pernah berakhir.

Mereka hanya beristirahat - sampai seseorang siap untuk melanjutkannya.

BERSAMBUNG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun