"Tidak terang-terangan. Tidak seperti yang diinginkan. Itu adalah masa ketika nama lebih berbobot daripada hati. Pierre orang Prancis, tapi ibunya Belanda. Dan meskipun perang sudah lama berlalu, desa menyimpan kenangannya seperti luka baru. Tidak mudah mencintai dengan cara yang berbeda. Tidak dulu. Mungkin juga tidak sekarang."
Dia terdiam sejenak, meletakkan dua potong gula batu ke dalam cangkirnya, dan memperhatikannya meleleh dengan suara gemerisik.
"Mereka bertemu diam-diam, di gubuk tua di belakang kebun lavender. Di tempat yang sama tempat kamu menemukan buku catatan kemarin. Itu bukan kebetulan. Malini sengaja meninggalkannya di sana. Dia tahu seseorang akan datang, suatu hari nanti. Mungkin kamu."
Anggun merasakan kehangatan teh tiba-tiba tak lagi memuaskannya. Dia menggigil.
"Dan kenapa  ... dia pergi?" Suaranya nyaris tak terdengar seperti bisikan.
Tisa menatapnya lama, lalu menjawab. "Karena cinta tak selalu cukup untuk melawan dunia. Tibalah saatnya satu surat cukup untuk menghancurkan segalanya. Surat yang tak pernah ditulis Malini. Dia yakin Malini telah meninggalkannya. Dan Malini pun yakin dia telah pergi. Surat itu palsu. Aku tahu siapa yang menulisnya. Tapi itu tak penting. Yang penting, mereka tak pernah bertemu lagi."
Anggun meletakkan cangkirnya. Tangannya sedikit gemetar.
"Dan dia tak pernah... mencoba mencarinya?"
"Oh ya," kata Tisa pelan. "Tapi terkadang kamu tak menemukan seseorang karena kamu telah kehilangan dirimu sendiri."
Kalimat itu begitu menusuk. Dan Anggun tahu ini bukan hanya tentang Malini.
"Kenapa kamu menceritakan ini padaku sekarang?" tanyanya setelah beberapa saat.