Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Semerbak Lavender di Kintamani: Bab Sembilan

5 Oktober 2025   18:18 Diperbarui: 5 Oktober 2025   17:26 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Sebelumnya....

Matahari kini sepenuhnya terbenam di balik cakrawala, tetapi cahaya senjanya masih menggantung seperti kilau samar di atas kebun lavender. Langit bermandikan warna ungu lembut diselingi selubung tipis awan, dan angin yang bertiup dari laut semakin kencang. Angin itu bermain-main dengan tirai kain pudar di jendela, membuatnya menari lembut, seolah-olah senja itu sendiri memiliki suara yang mencoba membisikkan sesuatu kepada Anggun.

Dia masih duduk di meja kayu kecil di taman, tempat beberapa menit yang lalu dia duduk berhadapan dengan Lee Jialin---pria yang kata-katanya lebih berbobot daripada yang tersirat dari penampilannya yang menawan. Amplop itu masih tergeletak di hadapannya. Tak terbuka, seperti musuh yang tidur. Permukaan putihnya tampak tak berbahaya, nyaris polos dalam cahaya redup. Namun, isinya sama sekali tidak netral. Itu adalah sebuah keputusan, terbungkus kertas.

Anggun mengelus permukaan meja yang kasar, merasakan alur-alur kayunya, sisa-sisa pernis tua, resin yang merembes di beberapa tempat. Malini pernah duduk di meja ini, dia tahu---membuat teh, menulis, berpikir. Mungkin bahkan bermimpi. Dan kini dia duduk di sini, menggenggam sebuah tawaran yang bisa menghapus semua itu. Atau membebaskannya---tergantung bagaimana sudut pandang yang melihatnya.

Pikirannya terpotong oleh sebuah retakan pelan---ranting patah di bawah langkah kaki. Dia mendongak.

Tak ada yang terlihat. Mungkin seekor burung, mungkin seekor kadal di semak-semak. Namun dia gugup. Kata-kata Jialin terngiang di benaknya. Terutama saat dia mulai membicarakannya, seolah memandang hidupnya seperti berkas terbuka.

"Aku tahu kamu sendirian," katanya.

Bukan tuduhan. Bukan rasa kasihan. Hanya sebuah pernyataan. Kering seperti memo.

Anggun menggigit bibir.

Bagaimana dia tahu? Apakah ada yang bicara dengannya? Maurice, mungkin?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun