Matahari kini sepenuhnya terbenam di balik cakrawala, tetapi cahaya senjanya masih menggantung seperti kilau samar di atas kebun lavender. Langit bermandikan warna ungu lembut diselingi selubung tipis awan, dan angin yang bertiup dari laut semakin kencang. Angin itu bermain-main dengan tirai kain pudar di jendela, membuatnya menari lembut, seolah-olah senja itu sendiri memiliki suara yang mencoba membisikkan sesuatu kepada Anggun.
Dia masih duduk di meja kayu kecil di taman, tempat beberapa menit yang lalu dia duduk berhadapan dengan Lee Jialin---pria yang kata-katanya lebih berbobot daripada yang tersirat dari penampilannya yang menawan. Amplop itu masih tergeletak di hadapannya. Tak terbuka, seperti musuh yang tidur. Permukaan putihnya tampak tak berbahaya, nyaris polos dalam cahaya redup. Namun, isinya sama sekali tidak netral. Itu adalah sebuah keputusan, terbungkus kertas.
Anggun mengelus permukaan meja yang kasar, merasakan alur-alur kayunya, sisa-sisa pernis tua, resin yang merembes di beberapa tempat. Malini pernah duduk di meja ini, dia tahu---membuat teh, menulis, berpikir. Mungkin bahkan bermimpi. Dan kini dia duduk di sini, menggenggam sebuah tawaran yang bisa menghapus semua itu. Atau membebaskannya---tergantung bagaimana sudut pandang yang melihatnya.
Pikirannya terpotong oleh sebuah retakan pelan---ranting patah di bawah langkah kaki. Dia mendongak.
Tak ada yang terlihat. Mungkin seekor burung, mungkin seekor kadal di semak-semak. Namun dia gugup. Kata-kata Jialin terngiang di benaknya. Terutama saat dia mulai membicarakannya, seolah memandang hidupnya seperti berkas terbuka.
"Aku tahu kamu sendirian," katanya.
Bukan tuduhan. Bukan rasa kasihan. Hanya sebuah pernyataan. Kering seperti memo.
Anggun menggigit bibir.
Bagaimana dia tahu? Apakah ada yang bicara dengannya? Maurice, mungkin?