Tidak, Maurice terlalu jujur.
Tisa? Tak mungkin. Mungkin tak perlu ada yang bicara. Mungkin cukup untuk membaca jejaknya---beberapa entri  di kantor agraria, tak adanya nama kedua di kotak surat, jumlah kantong sampah.
Tiba-tiba dia merasa seperti sedang dipantau, seolah-olah oleh pemindai yang merekam, bahkan rasa tidak aman dan pikirannya.
Anggun berdiri, mengambil amplop itu, dan masuk ke dalam rumah. Lantai berderit di bawah langkah kakinya, dan angin sejuk menyambutnya di lorong.
Dia menyalakan lampu kecil di samping meja, kapnya terbuat dari kaca kekuningan memancarkan cahaya hangat, hampir nostalgia. Meja tulis Malini teronggok di sana seolah-olah berasal dari era lain---dengan tatahan, kain lakan pudar, dan laci kecil bergagang kuningan. Dia duduk dan meletakkan amplop itu di hadapannya.
Dia masih belum membukanya. Tangannya tidak gemetar, tetapi terasa berat, seolah-olah ikut menanggung keputusan yang menggantung di udara.
Anggun meraih kunci tua yang tergantung di pengait di atas meja dan membuka laci kecil itu. Di dalamnya masih terdapat surat-surat Malini yang menguning dengan tulisan tangannya yang mengalir, beraroma lavender dan waktu. Anggun mengambil satu tanpa membacanya. Dia hanya ingin merasakan kontrasnya---antara kertas tipis pribadi itu dan amplop tertutup rapat berisi penawaran.
Dia teringat adegan dengan Maurice kemarin---bagaimana dia berbicara tentang kebun lavender. Dengan secercah harapan. Dengan visi.
Maurice tidak membawa amplop. Dia tidak menyebutkan jumlah. Hanya ide. Pikiran.
Angin.
Namun, suaranya masih terngiang di benaknya seperti melodi lama yang tak pernah terlupakan.