Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Semerbak Lavender di Kintamani: Bab Sembilan

5 Oktober 2025   18:18 Diperbarui: 5 Oktober 2025   17:26 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Tidak, Maurice terlalu jujur.

Tisa? Tak mungkin. Mungkin tak perlu ada yang bicara. Mungkin cukup untuk membaca jejaknya---beberapa entri  di kantor agraria, tak adanya nama kedua di kotak surat, jumlah kantong sampah.

Tiba-tiba dia merasa seperti sedang dipantau, seolah-olah oleh pemindai yang merekam, bahkan rasa tidak aman dan pikirannya.

Anggun berdiri, mengambil amplop itu, dan masuk ke dalam rumah. Lantai berderit di bawah langkah kakinya, dan angin sejuk menyambutnya di lorong.

Dia menyalakan lampu kecil di samping meja, kapnya terbuat dari kaca kekuningan memancarkan cahaya hangat, hampir nostalgia. Meja tulis Malini teronggok di sana seolah-olah berasal dari era lain---dengan tatahan, kain lakan pudar, dan laci kecil bergagang kuningan. Dia duduk dan meletakkan amplop itu di hadapannya.

Dia masih belum membukanya. Tangannya tidak gemetar, tetapi terasa berat, seolah-olah ikut menanggung keputusan yang menggantung di udara.

Anggun meraih kunci tua yang tergantung di pengait di atas meja dan membuka laci kecil itu. Di dalamnya masih terdapat surat-surat Malini yang menguning dengan tulisan tangannya yang mengalir, beraroma lavender dan waktu. Anggun mengambil satu tanpa membacanya. Dia hanya ingin merasakan kontrasnya---antara kertas tipis pribadi itu dan amplop tertutup rapat berisi penawaran.

Dia teringat adegan dengan Maurice kemarin---bagaimana dia berbicara tentang kebun lavender. Dengan secercah harapan. Dengan visi.

Maurice tidak membawa amplop. Dia tidak menyebutkan jumlah. Hanya ide. Pikiran.

Angin.

Namun, suaranya masih terngiang di benaknya seperti melodi lama yang tak pernah terlupakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun