Seminggu kemudian, Malini menemukan sebuah catatan kecil di jalan setapak. Dengan tulisan tangan yang rapi dan sedikit miring, tertulis,
"Je vous vois passer. Vous tes le vent du matin."
Aku melihatmu lewat. Kaulah angin pagi.
Dia tahu dia seharusnya tidak memungutnya. Bahwa itu berbahaya. Namun dia melipatnya dan memasukkannya ke dalam saku gaunnya.
Malam itu juga, dia tidak bisa tidur.
Dia pergi ke kebun, berdiri di antara pohon-pohon asam jawa, dan menghirup kegelapan. Angin beraroma laut dan tanah. Dan di antara keduanya, lavender.
Ayahnya pernah menanam tanaman itu di kebun belakang, secara iseng, menentang saran tetangga. Lavender bukan untuk daerah tropis, kata mereka. Namun tanaman itu tumbuh, berbunga, dan hidup.
Malini berdiri di sana, bertelanjang kaki, gaunnya di atas lutut, bertanya-tanya apakah pria ini---Pierre, seperti yang kemudian dia ketahui---akan membawa kemalangan baginya.
Atau sebuah kenangan.
Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali, mereka bertemu di belakang gudang. Malini membawakannya kue, sepotong keju yang dibungkus sapu tangan.
Pierre tak banyak bicara. Namun dia tersenyum.
"Terima kasih, Malini," katanya, dan bunyi namanya di bibirnya bagaikan sebuah janji.
Malini tak menjawab.
Namun dia tetap tinggal.
***
Angin bertiup dari laut, kencang dan jernih, seolah ingin menyapu bersih kenangan beberapa hari terakhir. Anggun berdiri di beranda belakang rumah, memegang secangkir kopi yang setengah dingin.
Cahaya matahari pagi menari-nari di pagar kayu tua, yang di beberapa tempat tertutup lumut. Udara dipenuhi suara gemerisik rumput, dentingan lonceng yang mungkin digantung Tisa di suatu tempat di dekat jendela, dan kicauan burung yang melompat-lompat di antara dahan-dahan pohon asam tua yang gundul di kebun Malini.
Tidurnya tidak nyenyak. Surat-surat itu---terutama yang terakhir---tak kunjung hilang dari benaknya. Kata-kata Pierre telah membelit pikirannya seperti sulur.
Apa pun yang terjadi antara Pierre dan Malini, kekuatannya bertahan hingga puluhan tahun.
Suara mesin yang samar membuatnya duduk dan memperhatikan. Dia melangkah lebih jauh ke beranda dan melihat Maurice melaju di jalan masuk dengan mobil VW kombi biru tua. Catnya pudar, pinggirannya berlumuran lumpur, tetapi ada sesuatu dalam bayangan itu yang hampir menenangkan---seolah dia memang pantas berada di sana.
Mobil berhenti, pintu berderit, Maurice keluar, menepis angin dari wajahnya, dan mengangkat tangan sebentar untuk menyapa.
"Selamat pagi, Anggun! Kuharap aku tidak mengganggumu."
Dia meletakkan cangkir kopi di atas meja kayu dan mendekati pagar. "Tidak juga," katanya, tidak kasar, tetapi dengan nada skeptis. "Apa yang membawamu ke sini?"
Maurice mengeluarkan selembar kertas yang digulung dari saku jaket tahan airnya.
"Aku sudah memikirkannya---tentang kebun lavender. Aku membuat beberapa sketsa. Tidak resmi, lebih seperti sebuah ide. Kupikir aku akan menunjukkannya padamu. Kalau kau mau."
Anggun ragu-ragu. Gagasan untuk terlibat dalam percakapan tentang pertanian, bisnis, atau bahkan rencana masa depan terasa terlalu cepat. Surat-surat itu masih terlalu dekat. Ikatannya dengan tempat ini terlalu samar. Namun ada sesuatu dalam suara Maurice---suara pelan yang tidak mengganggu maupun penuh perhitungan---membuatnya mengangguk.
"Baiklah. Masuklah. Anginnya kencang."
Mereka masuk ke dapur, yang masih memancarkan aroma khas papan kayu tua, debu lavender, dan sesuatu yang samar. Mungkin hanya akrab bagi rumah-rumah yang telah ditinggali selama bertahun-tahun dan tak banyak berubah.
Maurice duduk di meja dapur kecil, menata sketsa-sketsanya, dan mulai berbicara. Bukan dengan kecepatan seorang penjual atau keyakinan seorang ahli, melainkan dengan nada tenang seorang pria yang meluangkan waktu untuk didengar.
"Aku tahu kau tak ingin siapa pun ikut campur. Dan aku juga mengerti kau sedang sibuk sekarang. Tapi bidang ini... punya potensi, Anggun. Bukan untuk investor besar atau spekulan, tapi untuk sesuatu yang akan bertahan lama."
Dia membuka gulungan lembar pertama. Di atasnya terdapat garis-garis pensil, catatan tulisan tangan, dan area berwarna yang mungkin mewakili hamparan lavender yang direncanakan. Di antara baris-baris itu: simbol-simbol kecil untuk sarang lebah, jalan setapak, semacam paviliun kayu.
"Kau lihat ini? Aku meneliti seperti apa tanah di sini pada tahun 1950-an---berpasir, tetapi drainasenya bagus. Jika kau memangkas beberapa rerumputan, mengolahnya dengan tanaman campuran, dan menghindari pestisida, kau sebenarnya bisa menanam kembali lavender secara permanen. Bukan di lahan yang luas---melainkan di zona-zona yang harmonis, yang beradaptasi dengan apa yang disediakan lahan."
Anggun menatap gambar itu, mencoba membayangkannya dalam benaknya.
Aneh.
Beberapa hari yang lalu, dia mungkin akan mengabaikan percakapan ini. Namun sekarang, setelah mengetahui tentang Malini dan Pierre dengan bayang-bayang masa lalu yang semakin jelas setiap harinya, gagasan untuk menciptakan sesuatu yang nyata, sesuatu yang hidup, terasa hampir seperti tawaran rekonsiliasi.
"Kenapa kamu melakukan ini?" tanyanya pelan.
Maurice mengangkat bahu. "Karena aku percaya ini lebih dari sekadar sebidang tanah. Dan karena aku lelah melihat semuanya ditumbuhi tanaman liar atau dibeton."
Anggun tetap diam.
Angin menderu sebentar melalui jendela yang terbuka, membawa aroma rumput basah dan danau Batur, dan di suatu tempat di rumah itu, sebuah balok berderit pelan. Dia memikirkan surat-surat itu, tentang waktu yang terkurung di dinding rumah ini, tentang apa yang mungkin terungkap lagi---bukan hanya dengan peralatan, tetapi dengan kesadaran.
"Rencanamu..." dia memulai dengan ragu. "Maksudmu mereka bisa membiarkan lavender tumbuh di sini lagi, seperti dulu?"
"Tidak persis seperti dulu," kata Maurice. "Tapi mungkin dengan cara yang membuatnya menjadi bagian dari tempat ini lagi. Bukan benda asing. Bukan monokultur. Sesuatu yang bernapas."
Dia mengambil salah satu sketsa, mengamati garis-garisnya dan ketelitian pria itu dalam menggambar semuanya.
Itu bukan visi mencari kekayaan, bukan proyek yang megah. Itu adalah upaya untuk melestarikan sesuatu sekaligus memperbaruinya. Mungkin juga upaya untuk menyembuhkan.
"Dan apa yang kamu inginkan sebagai balasannya?" tanyanya, dengan lirikan sinis.
Maurice tertawa pelan.
"Bukan apa-apa. Aku sudah cukup sibuk mengurus kamar bayiku sendiri. Tapi kalau kau mau, aku akan membantumu. Menjadi sukarelawan. Aku belum pernah bercerita pada siapa pun, tapi ... aku menyukai Malini. Sewaktu kecil, dia hampir seperti pahlawan bagiku. Selalu tersenyum, selalu dengan sekeranjang penuh lavender dan cerita. Kurasa ini akan sesuai dengan jiwanya."
Kata-kata itu menyentuh Anggun lebih dalam dari yang dia duga. Dia teringat kembali pada ingatannya yang terpotong-potong. Tawa pelan, desiran bunga lavender di kaki telanjangnya, seorang perempuan dengan kepang abu-abu panjang menggali tanah seolah sedang berbicara dengannya.
"Aku ... aku butuh waktu, Maurice."
Dia mengangguk.
"Tentu saja. Tapi aku ingin menunjukkan ini padamu. Dan kalau kau setuju---aku akan di sini."
Maurice menggulung sketsa-sketsa itu lagi dan berdiri, meninggalkan salah satu lembarnya. "Seandainya kau ingin melihatnya lagi."
Anggun menemaninya ke pintu. Saat Maurice pergi, wanita itu berdiri lama di ambang pintu, memegang lembar itu di tangannya. Angin membelai rambutnya seperti tangan tak terlihat.
Mungkin sudah waktunya untuk berbicara tentang akar.
Lama.Â
Baru.
Dan mereka yang di antaranya.
BERSAMBUNG
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI