Itu bukan visi mencari kekayaan, bukan proyek yang megah. Itu adalah upaya untuk melestarikan sesuatu sekaligus memperbaruinya. Mungkin juga upaya untuk menyembuhkan.
"Dan apa yang kamu inginkan sebagai balasannya?" tanyanya, dengan lirikan sinis.
Maurice tertawa pelan.
"Bukan apa-apa. Aku sudah cukup sibuk mengurus kamar bayiku sendiri. Tapi kalau kau mau, aku akan membantumu. Menjadi sukarelawan. Aku belum pernah bercerita pada siapa pun, tapi ... aku menyukai Malini. Sewaktu kecil, dia hampir seperti pahlawan bagiku. Selalu tersenyum, selalu dengan sekeranjang penuh lavender dan cerita. Kurasa ini akan sesuai dengan jiwanya."
Kata-kata itu menyentuh Anggun lebih dalam dari yang dia duga. Dia teringat kembali pada ingatannya yang terpotong-potong. Tawa pelan, desiran bunga lavender di kaki telanjangnya, seorang perempuan dengan kepang abu-abu panjang menggali tanah seolah sedang berbicara dengannya.
"Aku ... aku butuh waktu, Maurice."
Dia mengangguk.
"Tentu saja. Tapi aku ingin menunjukkan ini padamu. Dan kalau kau setuju---aku akan di sini."
Maurice menggulung sketsa-sketsa itu lagi dan berdiri, meninggalkan salah satu lembarnya. "Seandainya kau ingin melihatnya lagi."
Anggun menemaninya ke pintu. Saat Maurice pergi, wanita itu berdiri lama di ambang pintu, memegang lembar itu di tangannya. Angin membelai rambutnya seperti tangan tak terlihat.
Mungkin sudah waktunya untuk berbicara tentang akar.