"Kau lihat ini? Aku meneliti seperti apa tanah di sini pada tahun 1950-an---berpasir, tetapi drainasenya bagus. Jika kau memangkas beberapa rerumputan, mengolahnya dengan tanaman campuran, dan menghindari pestisida, kau sebenarnya bisa menanam kembali lavender secara permanen. Bukan di lahan yang luas---melainkan di zona-zona yang harmonis, yang beradaptasi dengan apa yang disediakan lahan."
Anggun menatap gambar itu, mencoba membayangkannya dalam benaknya.
Aneh.
Beberapa hari yang lalu, dia mungkin akan mengabaikan percakapan ini. Namun sekarang, setelah mengetahui tentang Malini dan Pierre dengan bayang-bayang masa lalu yang semakin jelas setiap harinya, gagasan untuk menciptakan sesuatu yang nyata, sesuatu yang hidup, terasa hampir seperti tawaran rekonsiliasi.
"Kenapa kamu melakukan ini?" tanyanya pelan.
Maurice mengangkat bahu. "Karena aku percaya ini lebih dari sekadar sebidang tanah. Dan karena aku lelah melihat semuanya ditumbuhi tanaman liar atau dibeton."
Anggun tetap diam.
Angin menderu sebentar melalui jendela yang terbuka, membawa aroma rumput basah dan danau Batur, dan di suatu tempat di rumah itu, sebuah balok berderit pelan. Dia memikirkan surat-surat itu, tentang waktu yang terkurung di dinding rumah ini, tentang apa yang mungkin terungkap lagi---bukan hanya dengan peralatan, tetapi dengan kesadaran.
"Rencanamu..." dia memulai dengan ragu. "Maksudmu mereka bisa membiarkan lavender tumbuh di sini lagi, seperti dulu?"
"Tidak persis seperti dulu," kata Maurice. "Tapi mungkin dengan cara yang membuatnya menjadi bagian dari tempat ini lagi. Bukan benda asing. Bukan monokultur. Sesuatu yang bernapas."
Dia mengambil salah satu sketsa, mengamati garis-garisnya dan ketelitian pria itu dalam menggambar semuanya.