Mobil berhenti, pintu berderit, Maurice keluar, menepis angin dari wajahnya, dan mengangkat tangan sebentar untuk menyapa.
"Selamat pagi, Anggun! Kuharap aku tidak mengganggumu."
Dia meletakkan cangkir kopi di atas meja kayu dan mendekati pagar. "Tidak juga," katanya, tidak kasar, tetapi dengan nada skeptis. "Apa yang membawamu ke sini?"
Maurice mengeluarkan selembar kertas yang digulung dari saku jaket tahan airnya.
"Aku sudah memikirkannya---tentang kebun lavender. Aku membuat beberapa sketsa. Tidak resmi, lebih seperti sebuah ide. Kupikir aku akan menunjukkannya padamu. Kalau kau mau."
Anggun ragu-ragu. Gagasan untuk terlibat dalam percakapan tentang pertanian, bisnis, atau bahkan rencana masa depan terasa terlalu cepat. Surat-surat itu masih terlalu dekat. Ikatannya dengan tempat ini terlalu samar. Namun ada sesuatu dalam suara Maurice---suara pelan yang tidak mengganggu maupun penuh perhitungan---membuatnya mengangguk.
"Baiklah. Masuklah. Anginnya kencang."
Mereka masuk ke dapur, yang masih memancarkan aroma khas papan kayu tua, debu lavender, dan sesuatu yang samar. Mungkin hanya akrab bagi rumah-rumah yang telah ditinggali selama bertahun-tahun dan tak banyak berubah.
Maurice duduk di meja dapur kecil, menata sketsa-sketsanya, dan mulai berbicara. Bukan dengan kecepatan seorang penjual atau keyakinan seorang ahli, melainkan dengan nada tenang seorang pria yang meluangkan waktu untuk didengar.
"Aku tahu kau tak ingin siapa pun ikut campur. Dan aku juga mengerti kau sedang sibuk sekarang. Tapi bidang ini... punya potensi, Anggun. Bukan untuk investor besar atau spekulan, tapi untuk sesuatu yang akan bertahan lama."
Dia membuka gulungan lembar pertama. Di atasnya terdapat garis-garis pensil, catatan tulisan tangan, dan area berwarna yang mungkin mewakili hamparan lavender yang direncanakan. Di antara baris-baris itu: simbol-simbol kecil untuk sarang lebah, jalan setapak, semacam paviliun kayu.