Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali, mereka bertemu di belakang gudang. Malini membawakannya kue, sepotong keju yang dibungkus sapu tangan.
Pierre tak banyak bicara. Namun dia tersenyum.
"Terima kasih, Malini," katanya, dan bunyi namanya di bibirnya bagaikan sebuah janji.
Malini tak menjawab.
Namun dia tetap tinggal.
***
Angin bertiup dari laut, kencang dan jernih, seolah ingin menyapu bersih kenangan beberapa hari terakhir. Anggun berdiri di beranda belakang rumah, memegang secangkir kopi yang setengah dingin.
Cahaya matahari pagi menari-nari di pagar kayu tua, yang di beberapa tempat tertutup lumut. Udara dipenuhi suara gemerisik rumput, dentingan lonceng yang mungkin digantung Tisa di suatu tempat di dekat jendela, dan kicauan burung yang melompat-lompat di antara dahan-dahan pohon asam tua yang gundul di kebun Malini.
Tidurnya tidak nyenyak. Surat-surat itu---terutama yang terakhir---tak kunjung hilang dari benaknya. Kata-kata Pierre telah membelit pikirannya seperti sulur.
Apa pun yang terjadi antara Pierre dan Malini, kekuatannya bertahan hingga puluhan tahun.
Suara mesin yang samar membuatnya duduk dan memperhatikan. Dia melangkah lebih jauh ke beranda dan melihat Maurice melaju di jalan masuk dengan mobil VW kombi biru tua. Catnya pudar, pinggirannya berlumuran lumpur, tetapi ada sesuatu dalam bayangan itu yang hampir menenangkan---seolah dia memang pantas berada di sana.