Kami mengisi kantong sampah kami dengan harta karun, namun kami tidak bertahan lama karena ada cahaya. Cahaya membuat kita terlalu mudah untuk diperhatikan.
Rengekan Tinah membuyarkan ingatanku. Aku menarik bantal ke mukaku. Aku benci kalau dia merengek. Aku memikirkan Ayah dan petualangan terakhir kami bersama-sama.
Kami berburu harta karun di banyak apartemen lain. Lalu, Ayah bilang kami sudah mendapatkan cukup banyak untuk malam ini. Besok adalah hari pertamaku sekolah dan dia tidak ingin aku pulang terlambat. Ayah membawa kami ke pom bensin seperti biasanya. Dia membasahi kain lap dan aku menyeka diriku sendiri. "Suatu hari nanti kita akan punya rumah tempat kita bisa mandi lagi," kata Ayah.
Aku ingat ketika kami dulu punya rumah. Kami tinggal bersama Ibu di salah satu gedung apartemen yang kadang-kadang kami kunjungi. Ayah lebih banyak tersenyum saat itu. Aku tahu dia merindukan Ibu. Aku juga merindukannya. Tapi dia berada di tempat yang lebih baik sekarang. Setidaknya itulah yang selalu Ayah katakan.
Aku berganti piyama dan menunggu Ayah di kasur yang kami simpan di belakang VW Combi. Ayah masuk ke dalam. Aku meringkuk di sampingnya dan tertidur mendengar detak jantung Ayah yang berdebar-debar.
Aku terbangun karena cahaya terang menyinari VW Combi kami.
"Ayah?" aku berseru.
Ayah duduk dan mengerutkan kening. "Tetap di sini, Santi."
Ketika Ayah kembali, dia duduk di kursi pengemudi. "Apa yang telah terjadi?" aku bertanya.
"Polisi. Kita harus pergi ke kantor polisi."
"Apakah kita dalam masalah?"