Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berburu Harta Karun

3 Oktober 2025   21:21 Diperbarui: 3 Oktober 2025   21:12 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Berburu Harta Karun

Tidak seperti anak-anak lainnya, aku tidak takut kegelapan. Ayah dan aku biasa pergi berburu harta karun dalam kegelapan setiap saat.

Dua anak yang sekamar denganku selalu menangis di malam hari. Aku memberi tahu mereka bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan, namun mereka tidak pernah mendengarkan kata-kataku.

Ini hari Rabu malam. Ayah dan aku pergi berburu harta karun Rabu lalu. Aku ingat. Aku mempunyai ingatan yang kuat.

Ayah memarkir VW Combi di jalan. Saat itu gelap, tapi aku tidak takut. Kami berjalan di belakang sebuah gedung apartemen. Itu adalah tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Apartemen di sini memiliki lampu di bagian belakang, lampu kuning yang membuat segala sesuatu bersinar dengan lucu. Ayah mengerutkan kening menatap lampu-lampu tersebut, tapi dia terus berjalan sampai kami menemukan bak sampah daur ulang, peti harta karun kami, di tempat parkir.

Ayah membuka tutupnya dan mengangkatku ke dalam. Dia mengobrak-abrik tempat sampah di sebelahku. Aku berhati-hati untuk tidak membuat terlalu banyak suara. Berhati-hatilah, Ayah selalu berkata.

Aku melemparkan botol plastik dan kaleng soda dari tempat sampah ke luar. Ayah memungutnya dan mengumpulkannya ke dalam karung. Aku berhati-hati untuk tidak menyentuh benda tajam.

Suatu kali, tanganku mendapat luka besar akibat tutup kaleng. Banyak darah meleleh, tapi aku tidak melihat. Walaupun lukanya sangat perih. Penting untuk tidak menarik perhatian.

Ayah menjemputku dan membawaku ke seseorang yang menjahit tanganku dan memastikan tanganku tidak terkena infeksi.

Tidak perlu dokter jika ada yang bisa menolong, Ayah selalu berkata. Aku mendapat permen lolipop setelahnya.

Kami mengisi kantong sampah kami dengan harta karun, namun kami tidak bertahan lama karena ada cahaya. Cahaya membuat kita terlalu mudah untuk diperhatikan.

Rengekan Tinah membuyarkan ingatanku. Aku menarik bantal ke mukaku. Aku benci kalau dia merengek. Aku memikirkan Ayah dan petualangan terakhir kami bersama-sama.

Kami berburu harta karun di banyak apartemen lain. Lalu, Ayah bilang kami sudah mendapatkan cukup banyak untuk malam ini. Besok adalah hari pertamaku sekolah dan dia tidak ingin aku pulang terlambat. Ayah membawa kami ke pom bensin seperti biasanya. Dia membasahi kain lap dan aku menyeka diriku sendiri. "Suatu hari nanti kita akan punya rumah tempat kita bisa mandi lagi," kata Ayah.

Aku ingat ketika kami dulu punya rumah. Kami tinggal bersama Ibu di salah satu gedung apartemen yang kadang-kadang kami kunjungi. Ayah lebih banyak tersenyum saat itu. Aku tahu dia merindukan Ibu. Aku juga merindukannya. Tapi dia berada di tempat yang lebih baik sekarang. Setidaknya itulah yang selalu Ayah katakan.

Aku berganti piyama dan menunggu Ayah di kasur yang kami simpan di belakang VW Combi. Ayah masuk ke dalam. Aku meringkuk di sampingnya dan tertidur mendengar detak jantung Ayah yang berdebar-debar.

Aku terbangun karena cahaya terang menyinari VW Combi kami.

"Ayah?" aku berseru.

Ayah duduk dan mengerutkan kening. "Tetap di sini, Santi."

Ketika Ayah kembali, dia duduk di kursi pengemudi. "Apa yang telah terjadi?" aku bertanya.

"Polisi. Kita harus pergi ke kantor polisi."

"Apakah kita dalam masalah?"

  "Tidak, sayang. Pasang sabuk pengaman."

Perutku terasa mulas sepanjang perjalanan ke sana. Seseorang telah memperhatikan kami. Diperhatian itu buruk.

Ayah menggendongku ke dalam kantor polisi ketika kami tiba dan mendudukanku di kursi.

"Tetap di sini," katanya. "Ayah akan segera kembali. Ayah janji."

Seorang petugas membawa Ayah ke sebuah ruangan. Ayah pergi cukup lama. Aku melihat sekeliling. Tidak ada yang memperhatikanku, jadi aku berjingkat ke pintu yang tertutup dan menempelkan telingaku ke pintu itu.

"... tidak boleh tidur ... mobil ... pulang..."

"... bicara ... dia."

Pintu terbuka dan aku melompat mundur.

Seseorang menghela napas, "Kamu boleh berbicara dengan ayahmu."

Ayah melangkah keluar dan melihatku. "Santi, apa yang Ayah bilang?"

"Untuk tetap di tempat," gumamku, "tapi aku khawatir karena Ayah lama---"

"Oh sayang, Ayah minta maaf." Ayah berjongkok dan membuka tangannya.

Aku memeluk leher Ayah dan berbisik, "Apakah Ayah yakin kita tidak dalam masalah?"

"Ayah yakin."

Aku melirik ke dua orang yang menatap kami dan memeluk Ayah lebih erat. Aku tidak menyukai mereka.

Ayah tersenyum, tapi itu bukan senyumannya yang  asli, dan menunjuk ke arah wanita itu.

"Itu Bu Rizma. Dia akan membawamu ke sebuah rumah dan kamu akan tinggal di sana sebentar."

"Tanpa Ayah?"

Ayah mengangguk.

"Kalau begitu aku tidak mau pergi. Tolong, jangan paksa aku. Aku ingin tinggal bersama Ayah."

"Ayah tahu, sayang, tapi gadis pintar seperti kamu tidak bisa tinggal di dalam mobil van. Lagipula, kamu hanya akan sebentar saja di sana."

"Untuk berapa lama?"

"Sampai Ayah bisa menemukan rumah yang sebenarnya untuk kita lagi, oke?"

"Tapi itu mungkin memakan waktu yang sangat lama."

"Ayah janji itu tidak akan terjadi."

"Tapi sebelumnya Ayah berjanji bahwa Ayah akan segera kembali. Dan Ayah bilang kita tidak punya masalah. Tapi Ayah salah."

Bu Rizma mendekat. "Ikut Ibu, ya, Santi."

"Tidak mau!" aku memeluk Ayah.

  "Sssh, semuanya akan baik-baik saja, sayang."

Ayah memelukku erat-erat. Dia bilang padaku dia sangat sayang padaku. Dia biolang bahwa aku anak pemberani dan pintar dan aku akan baik-baik saja tanpa dia untuk sementara waktu.

Bu Rizma membawaku pergi. Aku mencoba sekuat tenaga untuk tidak menangis.

Rengekan Tinah membuatku tersadar dari lamunanku.

  Tenggorokanku terasa sakit dan mataku perih.

Aku berani, pintar, dan aku akan baik-baik saja, seperti yang Ayah katakan padaku.

Tapi kemudian aku memikirkan Ayah dan bagaimana aku tidak akan bertemu dengannya selama beberapa hari. Aku memikirkan bagaimana dia keluar sana sendirian malam ini, berburu harta karun tanpa aku. Aku membenamkan wajahku di bantal dan menelan isak tangisku.

"Aku berani, pintar, dan aku akan baik-baik saja," bisikku pada diri sendiri.

Aku mengatakannya berkali-kali. Berkali-kali.

Cikarang, 19 April 2024

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun