"Bisakah diperbaiki?"
"Saya khawatir tidak bisa. Saya akan dengan senang hati mendaur ulang perangkat kerasnya."
Dengan komputer Tika di keranjangku dan kaleng minuman bersoda di keranjang Wisnu, kami berkendara hingga ke pinggir bumi. Aku dan Wisnu melintasi tempat parkir, ke bagian pagar tempat Tika melompat minggu lalu. Ada sesuatu yang menyebabkan rantai kawat ayam di sana lama kelamaan melorot, turun sampai ke pinggang kami.
Aku dan Wisnu memiringkan kepala melampaui pagar. Permukaan tebing itu lebih datar dari apa pun, berupa potongan granit vertikal, begitu bersih hingga tampak seperti basah. Terjun bebas tidak akan terhalang jika bukan karena awan serupa kapas yang menggelegak sekitar seratus kaki di bawah hidung kami, membuka dan menutup di sekitar hamparan langit biru. Sulit dipercaya bahwa Tika tidak terpental beberapa kali di atas awan itu sebelum jatuh melewatinya.
Wisnu meletakkan kaleng minuman bersoda di atas kawat ayam yang melorot, menumpahkan soda ke awan.
"Untuk Tika," katanya sambil melihat ke dalam celah kalengnya yang kini kosong. Aku menyerahkan minumanku padanya.
"Kamu yakin?"
"Aku sedang tidak kepingin."
Hadiahku untuk Tika adalah memastikan bahwa peninggalannya ikut tiada. Itulah yang dimaksud dengan melompat dari Bumi. Bukan mati, melainkan lenyap sama sekali.
Aku mengambil laptop Tika untuk menjatuhkannya ke tepian. Wisnu sedang berdiri membungkuk dengan tangan bertumpu ke lutut. Dia memeriksa tali yang terjepit di celah trotoar.
Tali itu meliuk-liuk melewati anak tangga di kawat ayam dan jatuh ke ujung bumi. Aku dan Wisnu berusaha melihat lebih jauh ke bawah tebing, tapi kami tidak bisa menemukan ujung talinya. Wisnu terus menariknya sampai kemudian seseorang muncul menembus awan. Dia menarik talinya, satu tangan di depan tangan lainnya.