Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Pinggir Bumi

1 September 2025   12:12 Diperbarui: 1 September 2025   12:02 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Bumi datar, dan siapa pun bisa bunuh diri tanpa khawatir akan terganggu. Kamu bisa melompat langsung dari tepinya. Bukan mati, melainkan hilang. Tidak ada yang bisa mengambil kembali tubuhmu.

Ibu Tika mengetuk pintu kami dan bertanya apakah aku dan adikku bisa memasukkan barang-barangnya ke dalam kotak kardus. Karena kami kuat. Dia memberikan kami dua lembar uang dua puluh ribu dan beberapa kaleng minuman bersoda sementara kami mengangkat kardus berisi barang-barang Tika. Terakhir aku mengangkat laptop Tika. Ada stiker dari Survei Geologi di tutupnya. Aku melihat-lihat layarnya untuk mencari semacam surat perpisahan, sesuatu untuk diberikan kepada ibunya, tetapi tidak menemukan apa pun.

"Apa itu 'Orbit Planet-19'?" tanya Wisnu dari balik bahuku.

Aku membuka dokumen itu dan membaca sepintas lalu, sampai aku menemukan kalimat 'manusia serangga semi-cerdas'.

Kembali ke layar, menjadi jelas bahwa 'Orbit Planet-19' adalah bab baru dari sebuah novel, sisanya berada di folder khusus Orbit Planet. Kami membuka lebih banyak dokumen. Bacaannya sendiri cukup sulit untuk dipahami, tetapi tulisan hanyalah permulaan dari Orbit Planet. Ada peta, gambar, diagram, taksonomi, dan bahkan persamaan matematika.

"Apakah ini ... ilmu fisika?"

"Fisika karangan."

"Yah, cukup memalukan. Haruskah kita menghapus dokumennya?"

Aku tidak bisa menunjukkan emosi apa pun mengenai kepergian tetanggaku, dan sebagai gantinya, perasaanku tentang benar dan salah semakin tajam. Menjadi jelas bahwa hanya ada satu hal yang harus dilakukan. Aku menutup laptop Tika dan menemukan ibunya yang sedang duduk di dapur berlinangan air mata.

"Saya minta maaf untuk memberitahukannya Tante, tetapi tampaknya komputer Tika terkena virus."

"Bisakah diperbaiki?"

"Saya khawatir tidak bisa. Saya akan dengan senang hati mendaur ulang perangkat kerasnya."

Dengan komputer Tika di keranjangku dan kaleng minuman bersoda di keranjang Wisnu, kami berkendara hingga ke pinggir bumi. Aku dan Wisnu melintasi tempat parkir, ke bagian pagar tempat Tika melompat minggu lalu. Ada sesuatu yang menyebabkan rantai kawat ayam di sana lama kelamaan melorot, turun sampai ke pinggang kami.

Aku dan Wisnu memiringkan kepala melampaui pagar. Permukaan tebing itu lebih datar dari apa pun, berupa potongan granit vertikal, begitu bersih hingga tampak seperti basah. Terjun bebas tidak akan terhalang jika bukan karena awan serupa kapas yang menggelegak sekitar seratus kaki di bawah hidung kami, membuka dan menutup di sekitar hamparan langit biru. Sulit dipercaya bahwa Tika tidak terpental beberapa kali di atas awan itu sebelum jatuh melewatinya.

Wisnu meletakkan kaleng minuman bersoda di atas kawat ayam yang melorot, menumpahkan soda ke awan.

"Untuk Tika," katanya sambil melihat ke dalam celah kalengnya yang kini kosong. Aku menyerahkan minumanku padanya.

"Kamu yakin?"

"Aku sedang tidak kepingin."

Hadiahku untuk Tika adalah memastikan bahwa peninggalannya ikut tiada. Itulah yang dimaksud dengan melompat dari Bumi. Bukan mati, melainkan lenyap sama sekali.

Aku mengambil laptop Tika untuk menjatuhkannya ke tepian. Wisnu sedang berdiri membungkuk dengan tangan bertumpu ke lutut. Dia memeriksa tali yang terjepit di celah trotoar.

Tali itu meliuk-liuk melewati anak tangga di kawat ayam dan jatuh ke ujung bumi. Aku dan Wisnu berusaha melihat lebih jauh ke bawah tebing, tapi kami tidak bisa menemukan ujung talinya. Wisnu terus menariknya sampai kemudian seseorang muncul menembus awan. Dia menarik talinya, satu tangan di depan tangan lainnya.

Aku dan Wisnu menyaksikan pendaki itu mendekat. Kami bisa mendengar dengus napasnya keluar masuk mulut dan lubang hidungnya. Dengan satu tangan berkeringat mencengkeram tebing, lalu tangan lainnya.

Tika muncul di depan kami.

"Itu laptopku," katanya. Senyumnya datar saja.

Dia mengambilnya dariku.

"Apa yang kamu lakukan dengan laptopku?"

"Tadinya aku akan melemparkannya ke tepian."

"Kami pikir kamu sudah pergi," kata Wisnu.

Tika menggosok matanya dan menempelkan telapak tangannya ke pipinya.

"Apa menurut kalian bumi itu datar."

Dia mengabaikan perubahan nada ke atas di akhir pertanyaan, seolah-olah dia tidak punya cukup energi untuk bertanya.

"Apa maksudmu?"

"Kalau bumi datar, mengapa kita tidak bisa melihat Pralayapura dari sini?"

Aku mundur selangkah, agak tersinggung. Aku tidak peduli dengan nada bicaranya yang sombong. Seandainya aku yang baru saja mati dan hidup kembali, aku akan lebih semangat berbicara dengan tetanggaku.

"Karena terlalu jauh."

"Berapa, lima kilometer?"

"Tentu."

"Menurutmu kita tidak bisa melihat sejauh lima kilometer secara lurus? Kita bisa melihat bintang-bintang. Menurutmu seberapa jauh jarak bintang-bintang itu?"

Tika menyelipkan komputernya di bawah lengannya. "Triliunan. Bintang-bintang berjarak triliunan kilometer jauhnya."

Dia berbalik untuk pergi.

"Tunggu," panggil Wisnu. "Ada apa di bawah sana?"

"Lebih dari yang ada di sini."

Tika tertawa. Dia terus tertawa, sepanjang jalan melintasi trotoar. Ketika tawa itu akhirnya berhenti, bukan karena Tika berhenti tertawa, melainkan karena dia terlalu jauh untuk didengar.

Cikarang, 29 Maret 2024

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun