Aku terbangun dari tidur nyenyak menatap seraut wajah cantik.
Dia sangat cantik, jenis yang bisa membuatmu gagal berkedip saat dia melintas. Anggota tubuhnya yang kikuk dan kusut, hidungnya yang bengkok, kulitnya yang pucat seolah-olah diukir dari lilin dengan pisau tumpul. Mata biru dan dalam di balik sepasang kaca cembung tebal. Dia tampak polos, canggung, tidak nyaman, namun...
Cantik.
Hal yang tidak terduga membuatnya sulit bernapas.
"Kamu tidak apa apa?"
Kata-katanya membuatku tersentak dari lamunanku. Aku mengguncang diriku sendiri. Mengapa aku menulis puisi di kepala tentang Sungai Taritatu dari semua formasi geografis yang ada di muka bumi?
Aku bukan seorang yang romantis. Sama sekali bukan.
"Aku baik-baik saja," gumamku, mendorong tubuhku ke atas dengan sikuku dan menyadari bahwa aku sedang berbaring di trotoar. "Apa...?"
"Ada anak yang menendang bola dan kena kepalamu lalu kamu terjatuh."
Dia menggigit bibirnya, matanya mengalihkan pandangan. Seharusnya itu menggangguku, sikap mengelak, tapi dadaku bergejolak karena bibirnya itu. Dia tampak rentan. Giginya membuat bibirnya penyok dan tanganku gatal untuk meraihnya, menyapunya, menjilat mulutnya dengan lidahku---