Sejak aku berumur sebelas tahun kami telah mengelelilingi matahari yang sama. Sekolah yang sama, kelas enam, kampus universitas juga. Yang terakhir ini karena keberuntungan alam semesta yang mendorong kami berdua ke Yogyakarta. Ke jalan seorang anak yang kuharap bisa kuucapkan terima kasih telah membuatku pingsan saat dia berjalan pulang di belakangku.
Dia seperti salah satu bunga yang lebih langka dari wijayakusma, hanya mekar satu malam setahun sekali, dan aku akhirnya melihat kuncupnya mengembang.
Aku tidak akan pernah memikirkan hal seperti itu sebelumnya. Cinta adalah sesuatu yang selama ini tak pernah kupercaya keberadaannya. Puisi, keindahan---hanya untuk buku dan film, bukan untuk pemikiran tentang seseorang yang sangat bisa salah pada manusia lainnya. Ada kemungkinan bahwa ketakutan ini dikaitkan dengan kekecewaan berkali-kali sebelumnya.
Cinta adalah pencurahan rasa, dan aku tidak bisa mereguknya sampai kembung. Aku ingin tenggelam di dalamnya.
Tari Tatu pendiam dalam arti sebenarnya. Dia suka membaca dan punya watak gugup yang membuatku ingin meringkuk di dekatnya sampai kami cukup dekat untuk mendengar pikiran satu sama lain, hanya untuk membuktikan bahwa aku melihatnya sebagai sosok yang baik. Dia suka berada di bawah rerimbunan pohon, berbicara lembut di kegelapan saat hujan turun mendera atap di atas kepalanya. Dia adalah kehangatan, kedamaian, dan kebahagiaan.
Tapi ada satu hal.
Terkadang dia melihatnya. Itu terjadi ketika dia mengira aku tidak memperhatikan dia menatapku. Matanya menjadi gelap dan menjadi datar. Dia berusaha menyembunyikannya, tapi aku bisa merasakan ketegangan dalam dirinya. Dia berada jauh, bergulat dengan binatang buas di kepalanya. Aku berharap saya bisa memotongnya menjadi beberapa bagian untuknya.
Aku kira aku sudah melakukannya.
Aku mulai sakit kepala.
Awalnya setiap beberapa minggu, dan kemudian lebih sering.
Kemudian....