Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kasus Sang Harimau (Bab 3)

6 April 2022   21:00 Diperbarui: 6 April 2022   21:06 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

GPS menunjukkan  bahwa Anyer terletak di tepi pantai barat Provinsi Banten, sekitar 150 km melalui Jalan Tol Tangerang - Merak. Tidak banyak fasilitas yang bisa dibanggakan. Aku memeras otak, mencoba berpikir mengapa David ingin menemuiku di sana tetapi tidak menemukan jawabnya.

Seperti kebanyakan orang Jakarta, aku hanya tahu sedikit tentang pantai di barat, dan yakin David tahu lebih sedikit lagi dariku. Saat melaju di jalan tol, aku bertanya pada diri sendiri untuk keseratus kalinya mengapa David harus berada di Anyer, yang aku bayangkan sebagai desa nelayan terpencil. Ikan yang biasa dipancing David biasanya perempuan, untuk cinta semalam di atas ranjang dan segelas anggur di tangan.

Keluar dari tol, jalan menuju Anyer berlubang-lubang. Angin kencang bertiup dari arah laut. Kecepatan maksimum dua puluh kilometer per jam dan aku pindah ke gigi dua untuk memungkinkan mobil merayap.

Hujan mengguyur deras menerpa jendela kaca mobil. Aku menyalakan radio untuk mendengarkan berita, tepat ketika penyiar sedang membacakan berita tentang kapal Kuba yang karam di pantai Anyer malam sebelumnya, beberapa kilometer dari Anyer.

"Dua awak kapal masih belum ditemukan,” kata penyiar, “sedangkan yang selamat telah dijemput dan dibawa ke darat”.

Aku menajamkan telingaku. Rupanya Anyer akhirnya ada di peta, tapi aku masih belum menemukan apa yang dilakukan David di sana.

Mungkin di musim liburan Anyer sering dikunjungi wistawan, tapi sejauh yang bisa kulihat hanyalah Selat Sunda dan Anak Krakatau. Mellewati Pelabuhan Ciwandan, suara ombak berdebur menghantam pelabuhan seolah-olah membenci setiap manusia yang ada di sana.

Angin menderu dari laut, jenis angin yang menggedor setiap pintu yang tak terkunci rapat dan membuat kusen jendela berderak-derak. Terlalu gelap untuk melihat kapal apa pun di pelabuhan itu, tapi kubayangkan mereka pasti terombang-ambing seperti gabus.

Hanya ada satu jalan raya yang datar dan monoton. Rumah-rumah dua lantai yang ketinggalan zaman.

Aku sampai ke Hotel Marbella. Berdiri di tepi pantai terpencil, pada pandangan pertama tampaknya hampir terlalu bagus untuk Anyer. Dari tampilan luarnya aku seharusnya berpikir memang pantas untuk mendapatkan bintang di situs panduan hotel. Setidaknya, sesuai dengan selera David. Dia selalu menyukai yang nyaman.

Aku memarkir mobil di halaman batu di belakang hotel, dan terhuyung-huyung menuju pintu depan.

Angin mendorongku dan nyaris menerbangkanku, dan kuperhatikan taman bonsai kecil yang terletak di depan seolah-olah hendak tercerabut dari pot-potnya.

Restobar hotel itu sepi, tapi kelihatannya cukup menyenangkan. Bisa lebih buruk lagi jika Joko meminta bertemu di Batam. Suasananya nyaman, dengan nyala api di perapian kuno.

Balok kayu, meja bangku dan kursi tampak nyaman. Perasaanku mulai menjadi sedikit lebih baik.

Seorang pria yang ramah dan tegap berdiri i belakang bar. Dia mendongak ketika aku masuk dan berkata dengan riang, “Selamat malam, Pak”.

Aku membalas sapaannya, “Selamat malam. Apakah Anda pengelolanya?”

“Betul”, katanya, “Danar Hadi, siap melayani Anda. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?”

“Saya mencari teman saya yang ada di sini. Namanya David Raja.”

"Menginap di sini maksud Anda, Pak?"

“Saya bayangkan begitu.”

Pria itu tampak bingung. "Tidak ada satu pun dari nama itu di daftar tamu kami,” katanya.

Aku menatapnya. “Tapi mestinya nada. Saya mendapat surat darinya mengatakan dia ada di sini.”

Dia menggelengkan kepalanya. “Pasti ada kekeliruan, Pak.”

“Apakah ada bar hotel lain di Anyer?” tanyaku.

Danar mengernyitkan hidungnya. “Tidak ada. Yang lain sedang tutup untuk renovasi. Anda harus ke Cilegon untuk menemukan bar lain,” katanya, “tetapi kamar hotel di sana sudah tidak punya kamar sewaan, ada partai yang berkongres.”

Amarah tiba-tiba melandaku. Mengemudi hampir lima jam hari untuk menjawab surat dari David, hanya untuk menemukan bahwa dia tidak ada di sana. Persetan dengan David Raja, pikirku.

Aku memarkir pantatku di kursi. "Aneh. Seorang teman saya menulis kepada saya, meminta saya untuk bertemu dengannya di sini."

“Hal terbaik yang dapat Anda lakukan adalah minum, Pak,” saran Danar dengan simpatik.

“Anda benar,” aku menyetujui usulnya. “Saya minta bir.”

Setelah minum aku merasa lebih baik. Memesan sebotol lagi dan mengambil buku menu, tiba-tiba aku merasa lapar. “Bisakah saya memesan makanan?’

“Tentu, Pak,” kata Danar. Seoran gadis masuk dari belakang. “Ini putri saya, Kirana. Dia akan melayani pesanan Anda.”

Di luar, angin menderu tanpa henti. Kirana membungkuk untuk mengambil piringku yang telah kosong. Kaos atasannya yang ketat melingkari payudaranya yang kencang saat dia mencondongkan tubuh ke depan. Dia menatap mataku.

“Sepertinya kamu tahu kejadian di sekitar sini,” kataku. “Aku mendengarnya di radio mobil.”

“Ah, maksudmu kapal Kuba?” katanya sambil mengibaskan poni dari matanya. “Kecelakaan yang mengejutkan. Salah satu pelaut yang hilang sudah diketemukan dan di bawa kemari. Angin kencang, tidak ada ambulans atau kendaraan yang bisa menembus badai, dan dia dalam keadaan yang sangat buruk.”

Aku mengangguk.

'Yah, aku yakin jika pria malang itu dirawat olehmu, dia akan segera pulih.” kataku menggoda.

Pipinya yang putih merah merona.

“Hmm, aku yakin pasti ada orang lain yang lebih suka kurawat,” balasnya dengan senyum nakal.

Aku tertawa. Tampaknya terpaksa menginap di Marbella akan jadi menyenangkan.

“Apakah semuanya baik-baik saja?” tanya Danar muncul dari tangga.

“Ya, terima kasih, sangat menyenangkan,” jawabku.

"Saya akan mem-booking-kan kamar, tetapi belum tahu berapa malam Anda berencana untuk menginap."

Aku mengangkat bahu. “Dua malam, mungkin tiga.”

“Baik,” kata Danar. “Ada barang bawaan?”

Aku menunjukkan koper bagasi kabinku. “Hanya itu.”

Danar melirik ke koper kecil yang kuletakkan di ujung meja. "Apakah Anda perlu bantuan untuk membawanya ke atas?"

'Tidak, biar aku saja,” jawabku

'Kalau begitu, Ini kamar Anda di kamar seratus enam. Naik tangga, kamar Anda di ujung koridor sebelah kanan. Biasanya di sana tenang, meskipun saya tidak bisa bertanggung jawab atas angin yang menderu-deru malam ini'.

Dia memberiku kunci kamar dan kami berdua tertawa.

Pada saat itu Kirana kembali ke bar. Dia membawa baskom berisi air dan handuk di lengannya. Mau tak mau aku menatap tubuhnya langsing dan wajahnya yang cantik.

Danar bertanya, “Bagaimana keadaannya?”

Kirana menggelengkan kepalanya dengan ragu dan mengosongkan baskom ke wastafel bar. Dia menoleh dan memergoki aku sedang manatapnya, membautnya memalingkan wajahnya yang memerah.

“Dr. Nasir tidak terlalu berharap, aku jadi khawatir,” katanya.

Danar menoleh padaku. “Seorang pelaut Kuba dibawa ke mari,” jelasnya. “Caballo Negro menabrak karang, dan dia ditemukan terdampar di pantai. Kondisinya buruk, hipotermia parah. Dokter bilang dia beruntung masih hidup.” Beralih ke Kirana, dia bertanya, “Apakah dokter masih bersamanya?”

“Ya, tapi dia sepertinya ragu apakah dia akan mampu bertahan sampai pagi.”

Danar berdecak. “Separah itu?” katanya. “Kasihan, pelaut yang malang.Dia seharusnya dibawa di rumah sakit, tetapi karena cuaca tidak mungkin untuk mendaratkan helikopter dalam angin seperti ini,” katanya sambil menatapku.

Aku mengangguk. “Kirana baru saja memberitahu saya  beberapa menit yang lalu,” kataku memberiku alasan untuk membalas tatapannya. “Kuda Hitam.”

Kirana tampak bingung. “Caballo Negro artinya Kuda Hitam, dari Bahasa Spanyol,” aku menjelaskan. Dia mengangguk tanda mengerti.

“Pasti tenggelam karena badai,” sahut Danar. "Apakah dia sudah siuman?"

Kirana menggelengkan kepala. “Belum sama sekali sejak dia datang. Aku akan menjaganya malam ini, kalau-kalau keadaannya menjadi semakin buruk.”

Aku minum bir sebotol lagi. Rasanya agak egois karena tidak terlalu memikirkan pelaut Kuba itu. Masalahku sendiri cukup banyak.

Aku bertanya-tanya apa yang terjadi pada David. Pukul sepuluh masih belum ada tanda-tanda darinya, jadi aku pergi ke kamarku.

Aku tiba-tiba sadar, rasanya sangat melelahkan setelah melakukan perjalanan panjang. Masalah David Raja, di mana pun dia berada, harus menunggu sampai pagi. Pukul setengah sepuluh, aku sudah tertidur lelap.

BERSAMBUNG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun