Aku menatapnya. “Tapi mestinya nada. Saya mendapat surat darinya mengatakan dia ada di sini.”
Dia menggelengkan kepalanya. “Pasti ada kekeliruan, Pak.”
“Apakah ada bar hotel lain di Anyer?” tanyaku.
Danar mengernyitkan hidungnya. “Tidak ada. Yang lain sedang tutup untuk renovasi. Anda harus ke Cilegon untuk menemukan bar lain,” katanya, “tetapi kamar hotel di sana sudah tidak punya kamar sewaan, ada partai yang berkongres.”
Amarah tiba-tiba melandaku. Mengemudi hampir lima jam hari untuk menjawab surat dari David, hanya untuk menemukan bahwa dia tidak ada di sana. Persetan dengan David Raja, pikirku.
Aku memarkir pantatku di kursi. "Aneh. Seorang teman saya menulis kepada saya, meminta saya untuk bertemu dengannya di sini."
“Hal terbaik yang dapat Anda lakukan adalah minum, Pak,” saran Danar dengan simpatik.
“Anda benar,” aku menyetujui usulnya. “Saya minta bir.”
Setelah minum aku merasa lebih baik. Memesan sebotol lagi dan mengambil buku menu, tiba-tiba aku merasa lapar. “Bisakah saya memesan makanan?’
“Tentu, Pak,” kata Danar. Seoran gadis masuk dari belakang. “Ini putri saya, Kirana. Dia akan melayani pesanan Anda.”
Di luar, angin menderu tanpa henti. Kirana membungkuk untuk mengambil piringku yang telah kosong. Kaos atasannya yang ketat melingkari payudaranya yang kencang saat dia mencondongkan tubuh ke depan. Dia menatap mataku.