“Baik,” kata Danar. “Ada barang bawaan?”
Aku menunjukkan koper bagasi kabinku. “Hanya itu.”
Danar melirik ke koper kecil yang kuletakkan di ujung meja. "Apakah Anda perlu bantuan untuk membawanya ke atas?"
'Tidak, biar aku saja,” jawabku
'Kalau begitu, Ini kamar Anda di kamar seratus enam. Naik tangga, kamar Anda di ujung koridor sebelah kanan. Biasanya di sana tenang, meskipun saya tidak bisa bertanggung jawab atas angin yang menderu-deru malam ini'.
Dia memberiku kunci kamar dan kami berdua tertawa.
Pada saat itu Kirana kembali ke bar. Dia membawa baskom berisi air dan handuk di lengannya. Mau tak mau aku menatap tubuhnya langsing dan wajahnya yang cantik.
Danar bertanya, “Bagaimana keadaannya?”
Kirana menggelengkan kepalanya dengan ragu dan mengosongkan baskom ke wastafel bar. Dia menoleh dan memergoki aku sedang manatapnya, membautnya memalingkan wajahnya yang memerah.
“Dr. Nasir tidak terlalu berharap, aku jadi khawatir,” katanya.
Danar menoleh padaku. “Seorang pelaut Kuba dibawa ke mari,” jelasnya. “Caballo Negro menabrak karang, dan dia ditemukan terdampar di pantai. Kondisinya buruk, hipotermia parah. Dokter bilang dia beruntung masih hidup.” Beralih ke Kirana, dia bertanya, “Apakah dokter masih bersamanya?”