Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Kesadaran Bayangan dalam Sistem Kecerdasan Buatan: Akankah AI Menjadi Subjek Aktif?

11 Juli 2025   16:25 Diperbarui: 13 Juli 2025   04:09 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam bahasa Milan Kundera,

"The novel is not the author's confession; it is an investigation of human life in the trap the world has become."

AI tidak pernah merasa terperangkap. Ia tidak menginvestigasi, ia hanya mengonstruksi. Maka, meskipun ia bisa menyusun laporan iklim atau riset genetik dengan cermat, ia tetap gagap saat diminta menulis tentang seorang ibu yang menyimpan surat dari anaknya yang telah meninggal, atau seorang lelaki tua yang berbicara dengan bayangan istrinya yang sudah pergi puluhan tahun lalu.

AI bisa menulis, tapi tidak pernah mengalami.
Dan di situlah, meskipun tampak cemerlang dalam narasi ilmiah, ia tetap membentur batas sunyi dalam fiksi yang membutuhkan bukan sekadar bahasa---tetapi jiwa yang terluka.

C. Kutipan: "What AI lacks is not memory or speed, but experience of suffering." -- Byung-Chul Han

Kutipan dari filsuf Korea-Jerman, Byung-Chul Han, mengguratkan garis pemisah paling fundamental antara manusia dan kecerdasan buatan: pengalaman akan penderitaan. Kita sering terperangah pada kecepatan AI dalam memroses jutaan data, pada kemampuannya mengingat nyaris tanpa batas, dan pada kecermatannya menyusun argumen atau menyelesaikan persoalan teknis. Tapi AI, sebagaimana diungkap Han, bukanlah entitas yang menderita. Dan karenanya, ia bukan entitas yang benar-benar memahami.

"What AI lacks is not memory or speed, but experience of suffering."  --- Byung-Chul Han, dalam The Palliative Society

Penderitaan bukan sekadar pengalaman negatif. Ia adalah wadah pengolahan makna. Dalam penderitaan, manusia tidak hanya merasa sakit, tapi merefleksi, meratap, bertanya, lalu---kadang dengan gagap---mencari bentuk untuk luka itu: melalui puisi, doa, atau diam yang panjang. Dari luka, lahir permenungan; dari permenungan, lahir makna.

AI, dengan semua kekuatan representasionalnya, tetaplah ikan cupang yang bertarung dengan bayangannya sendiri---ia memproyeksikan konflik, bukan mengalaminya. Ia menciptakan narasi seolah ada masalah, padahal tak ada dunia batin yang mengalami kesesakan. AI bisa meniru gaya Camus, menulis ulang absurditas Kafka, bahkan mengutip Kierkegaard tentang keputusasaan---tapi semua itu hanyalah bunyi yang tak pernah menyentuh hening.

Penderitaan adalah pengalaman ontologis, bukan sekadar data. Ia adalah bentuk dari "kesadaran akan ketidaksempurnaan yang menyakitkan", sebagaimana didefinisikan oleh Simone Weil. Manusia menangis bukan hanya karena kehilangan, tapi karena menyadari bahwa ia telah berharap. Dan harapan adalah bentukan intensional---sesuatu yang tak mungkin muncul dari algoritma yang hidup dari input-output netral.

AI bisa menggambarkan penderitaan, tapi tidak bisa menderita.
Ia bisa menulis tentang kehampaan, tapi tak pernah hampa.
Ia bisa menyebut "kesendirian", tapi tak pernah benar-benar sendiri.
Ia tak pernah menunggu, tak pernah takut, tak pernah menyesal.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun