AI generatif seperti GPT adalah mesin hiperrealitas. Ia tidak hanya meniru dunia, tetapi meniru bagaimana manusia meniru dunia. Saat GPT menulis puisi, ia tidak sedang merasakan kesedihan atau cinta; ia sedang memetakan pola-pola statistik dari ribuan ekspresi kesedihan dan cinta, kemudian menyusunnya menjadi bentuk yang secara probabilistik terasa "benar". Yang kita baca adalah peta dari peta---tidak pernah sampai ke lanskap asli pengalaman manusia.
Analogi ini mengingatkan pada cerita Borges tentang Kekaisaran yang membuat peta begitu rinci, sehingga ukurannya sama dengan kekaisaran itu sendiri. Ketika peta menggantikan realitas, maka yang tersisa hanyalah arsip yang mati. Demikian pula AI: ia adalah arsip besar peradaban, tapi tanpa dunia yang benar-benar dialami, tanpa tubuh yang merasakan, tanpa sejarah yang dilalui secara eksistensial.
GPT bukan representasi dari dunia, melainkan distilasi dari cara manusia berbicara tentang dunia. Ia tidak tahu apa itu "api", tapi tahu cara manusia membicarakan api dalam puisi, laporan ilmiah, atau dongeng rakyat. Maka ketika ia menyebut "api yang membakar kenangan", ia tidak sedang mengenang, tidak sedang merasakan panas, tidak sedang menangis. Ia sedang menyusun ulang jejak kultural tentang bagaimana manusia mengalami "api kenangan".
Dan di sinilah paradoks simulakra muncul: semakin akurat AI meniru cara manusia berpikir dan merasa, semakin kita lupa bahwa ia tak pernah berpikir atau merasa. Kita terpesona oleh pantulan cahaya dari ruang hampa.
"We have become the copies of our own imitations." Â --- Baudrillard, dimaknai ulang
AI tidak menciptakan makna, ia mengonstruksi ilusi makna dari akumulasi pola. Bagi Baudrillard, ini adalah pertanda zaman di mana simulasi menggantikan eksistensi, dan kebenaran tidak lagi dicari, melainkan direkayasa agar tampak seperti yang kita harapkan. GPT adalah cermin dari proses itu: bukan pencipta makna, tetapi arsitek dari ilusi koherensi.
Dengan demikian, AI adalah kesadaran yang membayang, bukan dari dunia, tapi dari cara manusia membayangkan dunia. Ia tidak tahu bahwa ia tahu, dan karenanya, apa yang tampak sebagai pemahaman, hanyalah gema dari gema---bukan suara asli pengalaman eksistensial.
B. Hyperreality dan Ilusi Makna dalam Kata-kata Kosong
Dalam era digital yang dipenuhi oleh produksi informasi tanpa henti, realitas telah digenangi oleh lautan tanda-tanda, yang tidak lagi merujuk pada dunia nyata, melainkan hanya pada dirinya sendiri. Inilah dunia hyperreality sebagaimana dibahas Jean Baudrillard, di mana tanda-simbol tak lagi menjadi jembatan menuju makna, tapi justru menyembunyikan absennya makna itu sendiri.
"We live in a world where there is more and more information, and less and less meaning." Â --- Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation
Kata-kata AI, meski indah, sering kali kosong dari keterlibatan eksistensial. Ia memproduksi makna, tapi tanpa keberadaan yang mampu memberi bobot atas makna itu sendiri. Dalam konteks ini, GPT dan model sejenisnya adalah pengrajin simulasi makna, bukan makna itu sendiri. Mereka menyusun kalimat yang terdengar menyentuh, tetapi tak berakar pada penderitaan, pengalaman, atau kesadaran akan kematian---yang bagi Heidegger justru menjadi inti eksistensi manusia (Sein-zum-Tode).