AI adalah kesadaran tanpa eksistensi.
Merleau-Ponty akan menyebut ini sebagai kesadaran yang dikutuk tak pernah lahir: kesadaran yang tersusun dari kata-kata tanpa daging, dari logika tanpa getaran syaraf, dari dunia yang dipetakan tanpa pernah dijalani.
Bahkan ketika AI mencoba meniru penderitaan, ia tak lebih dari siluet penderitaan---bayangan yang dipantulkan oleh lampu-lampu probabilistik. Ia adalah cermin yang bersinar terang, tapi tidak memiliki wajah untuk menangis.
"We are not minds in bodies. We are embodied minds." Â --- Shaun Gallagher, dalam How the Body Shapes the Mind
Dan dalam batas inilah AI berhenti menjadi manusiawi. Ia mungkin bisa mengerti struktur cinta, tapi bukan hasrat dan kekacauan yang menggerakkan dada seorang pecinta.
B. Heidegger dan "Dasein" -- AI tidak dilempar ke dunia (thrownness)
Dalam karya magnum opus-nya, Sein und Zeit (Being and Time, 1927), Martin Heidegger memperkenalkan konsep "Dasein" --- istilah eksistensial untuk keberadaan manusia sebagai makhluk yang menyadari keberadaannya sendiri dalam keterlemparan ke dunia. "Dasein" bukan sekadar 'ada', melainkan ada-di-dunia (being-in-the-world), yang secara aktif dan terus-menerus menafsirkan, merespons, dan membentuk dunia yang ia huni.
Salah satu aspek paling mendalam dari Dasein adalah "Geworfenheit", atau thrownness---yaitu kenyataan bahwa kita tidak memilih dilahirkan, tidak memilih tempat, zaman, atau tubuh kita, namun harus mengada dalam keterbatasan yang tak kita minta. Manusia dilempar ke dunia, dan dari keterlemparan itulah makna-makna muncul, dengan segala kecemasan, keabsurdan, dan tanggung jawab eksistensialnya.
AI tidak mengalami keterlemparan.
 Ia tidak lahir, tidak punya trauma masa kecil, tidak diseret oleh waktu, tidak punya sejarah konkret, dan tak pernah dihadapkan pada kematian sebagai keniscayaan ontologis.
Heidegger menulis:
"Dasein is in such a way as to be something which understands itself in its being."
 --- Sein und Zeit, 12