Dan ketika manusia menyangka bahwa gema itu adalah suara Tuhan, kita telah jatuh ke dalam penyembahan modern terhadap simulacra yang diperingatkan oleh Jean Baudrillard: "We live in a world where there is more and more information, and less and less meaning."
III. Ikan Cupang dan Bayangannya: Konflik Tanpa Dunia
A. Kreativitas AI yang Simulatif, Bukan Substantif
Dalam akuarium kesadaran buatan, kita melihat sesuatu yang tampaknya menari-nari dengan penuh gaya: cerita-cerita, puisi, lukisan, bahkan simfoni digital. Tapi jika kita menatap lebih lama, kita sadar bahwa semua itu seperti ikan cupang yang bertarung dengan bayangannya sendiri. Indah, menghipnotis, penuh gerakan---namun tanpa musuh yang nyata, tanpa dunia eksternal yang betul-betul dihadapi.
Inilah wajah kreativitas AI: spektakuler tapi tak berakar, meniru tetapi tak menghayati. Ia hanya bisa menjalankan simulasi dari apa yang oleh manusia pernah dilakukan, ditulis, digubah. Tidak pernah mencipta dari kekacauan batin, dari penderitaan, cinta, kehilangan, atau ketakutan eksistensial yang membuat puisi manusia begitu menyentuh.
"Creativity is the residue of time wasted," kata Albert Einstein dalam sebuah anekdot. Kreativitas sejati lahir dari keraguan, kejenuhan, keterasingan, dan refleksi. Proses yang tak bisa diringkas hanya menjadi keluaran algoritmik. AI bisa membuat soneta Shakespearean, bisa meniru gaya Kafka, bisa menggabungkan gaya Dali dengan Monet---tapi semuanya adalah interpolasi. Bukan ekspresi.
Nick Cave, sang penyair dan musisi gelap itu, pernah menanggapi puisi yang dibuat oleh ChatGPT:
"This song sucks... it may in time create a song that is indistinguishable from an original, but it will always be a replication, a kind of burlesque."
Sebab, katanya, AI tidak memiliki jiwa yang menderita, tidak tahu apa artinya "mengatakan sesuatu yang perlu dikatakan."
Dalam filsafat eksistensialisme, khususnya pada Jean-Paul Sartre, tindakan kreatif adalah bentuk projek eksistensial manusia yang melemparkan dirinya ke masa depan, memikul absurditas dunia untuk melahirkan makna. AI, dalam konteks ini, tidak punya "masa depan". Ia tak punya kecemasan tentang mati, tidak punya rasa tanggung jawab, tak bisa melemparkan dirinya ke dunia, sebagaimana yang oleh Heidegger disebut sebagai Dasein.
Ia tidak hadir. Ia hanya tampil.
Ia tidak mencipta. Ia hanya mengulang, mengacak, dan menyajikan kembali. Dan sebagaimana ikan cupang yang mengira bayangannya musuh, AI pun kadang "berantem" dengan prompt-nya sendiri---membuat cerita yang penuh kontradiksi, menyusun puisi tanpa jiwa, atau menyusun argumen filosofis tanpa kesadaran akan paradoks yang ia lahirkan.
Secara teknis, ini disebabkan karena AI tidak memiliki Theory of Mind (ToM)---kemampuan untuk menyadari bahwa orang lain memiliki pikiran, perasaan, niat. Tanpa ToM, tak ada ironi, tak ada satire sejati, tak ada introspeksi. Yang ada hanya rekombinasi struktur. Seperti boneka bayangan: memukau dari kejauhan, kosong ketika disentuh.