Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Kesadaran Bayangan dalam Sistem Kecerdasan Buatan: Akankah AI Menjadi Subjek Aktif?

11 Juli 2025   16:25 Diperbarui: 13 Juli 2025   04:09 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih jauh, filsuf kontemporer Hubert Dreyfus, dalam kritiknya terhadap AI dalam What Computers Still Can't Do, menyatakan bahwa pengalaman manusia tak dapat direduksi menjadi kumpulan aturan dan probabilitas, karena keberadaan manusia selalu "situated"---terbenam dalam dunia, dalam tubuh, dalam sejarah. Maka ketika manusia sadar tengah berbicara pada AI, ia tidak sekadar mencari jawaban, tapi belajar meragukan jawabannya---dan justru dari situ, refleksi tumbuh.

"Doubt is the origin of wisdom."  --- Ren Descartes

Mereka yang sadar bahwa AI adalah mesin, adalah mereka yang tidak sekadar menggunakan AI, tapi juga menganalisisnya. AI menjadi objek fenomenologis---benda yang diamati, dijarakkan, dan dijadikan titik tolak untuk menyelami diri. Mereka bertanya, "Apa yang hilang dalam jawaban ini?" dan pertanyaan itulah yang membuka ruang filsafat. AI, dengan segala kefasihannya yang kering, melahirkan kembali kebutuhan akan keheningan, kehati-hatian, dan kesunyian dalam berpikir.

AI tidak menggantikan akal budi; ia menantangnya. Bagi mereka yang berpikir, inilah momen pembuktian bahwa manusia bukan hanya makhluk kognitif, tapi juga makhluk reflektif. AI mungkin bisa menyusun puisi, menjelaskan teori relativitas, atau membuat gambar Surealis, tetapi hanya manusia yang bisa menangis karena puisi itu, bingung oleh relativitas itu, atau takjub oleh makna gambar itu.

C. Yang Malas Berpikir, Makin Terbius oleh Kemudahan Tanpa Pemahaman

Jika bagi si reflektif AI menjadi cermin yang menyadarkan, maka bagi mereka yang malas berpikir, AI hanyalah cermin palsu yang menghibur kebodohan. Bukan memperluas wawasan, tapi menebalkan kemalasan. Bukan merangsang pertanyaan, melainkan menjadikan jawaban instan sebagai akhir dari pencarian.

"Man is not made for comfort. He is made for greatness." --- Pope Benedict XVI

Namun dalam era AI, kenyamanan jawaban menjadi candu. Maka ketika pertanyaan paling dalam dijawab dengan presisi statistik tanpa substansi eksistensial, yang bodoh tak merasa tertipu. Sebaliknya, ia merasa dimenangkan. AI menjadi kalkulator batin---yang tak mengasah logika, tapi menumpulkan intuisi. Jawaban demi jawaban diterima tanpa resistensi, tanpa rasa ingin tahu, tanpa keraguan. Seperti kata Hannah Arendt, "The sad truth is that most evil is done by people who never make up their minds to be good or evil." Dan mungkin juga: kebodohan bukan lagi soal kapasitas, tapi pilihan untuk tidak bertanya.

Gejala ini dapat dilacak secara empiris. Studi oleh Pew Research (2023) menunjukkan bahwa dalam populasi pengguna teknologi AI, mereka yang sudah memiliki kebiasaan berpikir kritis cenderung menggunakan AI sebagai alat bantu eksploratif, sementara yang tidak, menggunakannya sekadar untuk menyelesaikan tugas tanpa pemahaman tambahan. Ini menghasilkan kesenjangan epistemik: AI sebagai akselerator pemisahan antara pembelajar dan peniru.

Kita dihadapkan pada realitas bahwa teknologi bukan hanya alat, tapi struktur yang membentuk kebiasaan berpikir. Mengikuti Marshall McLuhan, teknologi seperti AI bukanlah ekstensi netral dari pikiran, melainkan "media yang menciptakan lingkungan berpikir baru." Dan dalam lingkungan itu, yang tak terbiasa berpikir akan tertelan oleh kemudahan. Ia tidak bertanya pada jawaban, tidak menggugat pada struktur, dan tidak curiga pada ilusi. Baginya, AI adalah orakel---padahal yang berbicara hanyalah model statistik tanpa kesadaran, bukan nabi.

Di sinilah ironi zaman ini: semakin tinggi kecerdasan buatan, semakin rendah keinginan berpikir manusia yang lemah refleksi. Di hadapan AI, ia memilih untuk percaya, bukan bertanya. Padahal, seperti yang pernah dikatakan oleh Sren Kierkegaard, "People demand freedom of speech as a compensation for the freedom of thought which they seldom use."

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun