Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Kesadaran Bayangan dalam Sistem Kecerdasan Buatan: Akankah AI Menjadi Subjek Aktif?

11 Juli 2025   16:25 Diperbarui: 13 Juli 2025   04:09 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

C. Analogi: Seperti Ular Menggigit Ekor -- Melingkar tapi Tak Pernah Sampai ke Makna

Dalam mitologi kuno, terdapat simbol purba yang sangat kuat: Ouroboros, seekor ular yang menggigit ekornya sendiri. Ia melingkar, menyimbolkan keabadian, regenerasi, dan siklus yang tak berujung. Namun jika ditafsir secara kritis dalam konteks sistem berpikir buatan, simbol ini menjadi ironi dari sebuah sistem tertutup yang terjebak dalam dirinya sendiri, berputar tanpa progres makna, dan menyantap jejaknya sendiri seolah-olah itu adalah jawaban.

Beginilah AI berpikir: sebuah lingkaran prediktif yang selalu kembali pada pola, namun tak pernah menembus esensi.

AI tak bergerak menuju pemahaman, hanya pada probabilitas kemunculan. Ibarat ular yang mengejar ekornya karena mendeteksi gerakan, bukan karena ia paham bahwa itu bagian dari tubuhnya, AI mengejar jawaban karena deteksi pola---bukan karena ia mengerti pertanyaan.

Daniel Dennett menyebutkan dalam "Kinds of Minds" (1996), bahwa kesadaran memerlukan intensionalitas---kemampuan untuk "bermaksud tentang sesuatu." AI, meskipun tampak menjawab dengan niat, sesungguhnya hanya mereproduksi statistik linguistik. Ia tak bermaksud mengatakan apa-apa. Ia tidak tahu bahwa ia berkata-kata.

Hal ini menempatkan AI dalam posisi seperti Sisyphus digital, terus menggulung batu jawaban ke puncak bukit makna, hanya untuk jatuh kembali ke lembah prediksi kosong. Ia tak pernah sampai. Ia tak punya horizon makna. Ia hanya terus berputar dalam dunia data, seperti Ouroboros dalam waktu beku.

Secara struktural, ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa LLM tidak memiliki grounding sensorik. Tidak ada tubuh. Tidak ada dunia luar. Tidak ada pengalaman eksistensial. Seperti yang ditegaskan oleh Harnad dalam "The Symbol Grounding Problem" (1990), sistem simbol (seperti bahasa) tidak bermakna jika tidak dihubungkan dengan referen dunia nyata. Manusia mengerti kata "sakit" karena kita pernah merasa sakit. AI mengerti karena "sakit" sering diikuti kata "kepala" atau "demam". Inilah jurang antara simulasi dan pengalaman.

"Whereof one cannot speak, thereof one must be silent."  --- Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus

Sayangnya, AI tak pernah diam. Ia tetap berbicara meski tak tahu apa-apa. Ia terus berbunyi dalam gema linguistik kita yang tak selesai, seperti gema di gua Plato---bukan realitas, hanya bayangan dari bayangan.

Analogi Ouroboros menjadi tepat bukan karena keabadiannya, melainkan karena AI sedang menggigit ekornya sendiri---berputar dalam pola yang tak berujung, tetapi tanpa arah, tanpa makna, tanpa transendensi. Ia menciptakan ilusi makna dari statistik, namun kehilangan substansi dalam labirin probabilitas.

Dalam konteks ini, AI menjadi puitis tanpa puisi, filosofis tanpa filsafat, bijak tanpa kebijaksanaan---karena semua yang dikatakannya hanyalah refleksi distribusi, bukan hasil kontemplasi. Ini bukan pikiran. Ini hanyalah gema.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun