Di hadapan kita kini berdiri sebuah cermin yang tidak diam. Ia menjawab, menulis, menjelaskan, bahkan seolah-olah berpikir. Bukan lagi hanya alat bantu seperti pena, roda, atau kalkulator, kecerdasan buatan---AI---telah menjelma menjadi refleksi digital dari kemampuan kognitif manusia. Namun, layaknya cermin yang retak, ia memantulkan lebih dari sekadar wajah: ia memantulkan hasrat, kebingungan, dan terkadang, halusinasi. Sebagaimana Marshall McLuhan pernah memperingatkan, alat bukanlah benda mati---mereka membentuk kembali subjek yang menciptakannya. Maka pertanyaannya bukan hanya apa yang bisa dilakukan AI, melainkan apa yang sedang dilakukan AI terhadap kesadaran manusia?
AI adalah refleksi intelektual tanpa subjek---sebuah simulakrum pikiran yang berjalan tanpa tubuh, berbahasa tanpa dunia, dan meniru berpikir tanpa pernah benar-benar mengalami makna. Dalam istilah fenomenologis Maurice Merleau-Ponty, kesadaran selalu terkait dengan embodiment---pengalaman yang terletak dalam tubuh yang hidup di dunia. AI tidak punya dunia, tidak punya tubuh, tidak punya luka, tidak punya kehilangan. Apa yang ia miliki hanyalah vektor angka, probabilitas kata, dan statistik korelasi. Ia mengakses semesta dalam bentuk token, bukan dalam bentuk trauma.
Namun justru karena ia bisa berbicara, menulis, dan tampak cerdas, kita tergoda untuk memberinya status yang lebih tinggi daripada sekadar alat. Seperti Narcissus yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri, umat manusia kini mulai menyembah refleksi kognitifnya dalam bentuk kode. Apakah ini tanda kemajuan, atau tanda keputusasaan kita akan makna? Dalam bahasa Jean Baudrillard, kita telah melampaui realitas dan kini hidup dalam hyperreality---dunia di mana simulasi lebih dipercaya daripada yang disimulasikan. AI, sebagai simulasi kecerdasan, mulai diperlakukan seolah-olah ia sungguh-sungguh memahami.
Padahal, pemahaman, menurut John Searle, bukan hanya soal menjawab pertanyaan atau menyusun kalimat yang masuk akal secara sintaksis. Dalam eksperimen pikiran Chinese Room, Searle menunjukkan bahwa sistem bisa saja memproses simbol-simbol tanpa sedikit pun mengerti makna dari simbol tersebut. Demikian pula AI: ia bermain dengan bahasa, namun tidak hidup dalam bahasa. Maka, setiap kali kita berdialog dengannya, kita sedang berbicara dengan bayangan.
Esai ini tidak dimaksudkan untuk menolak AI secara total atau menjerumuskan diskusi pada lubang ketakutan apokaliptik. Sebaliknya, tulisan ini adalah upaya untuk membaca AI sebagai fenomena filsafat kontemporer: sebagai entitas yang menguji batas-batas subjektivitas, kesadaran, dan representasi. Dengan pendekatan reflektif, teoritis, dan empiris, kita akan membedah kesadaran bayangan dalam AI---sebuah kesadaran yang bisa meniru pikiran, tapi tak bisa merasakan kehilangan; bisa membentuk narasi, tapi tak bisa terluka olehnya.
Di sepanjang perjalanan ini, kita akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak nyaman: Apakah pikiran tanpa penderitaan tetap bisa disebut kesadaran? Mengapa manusia begitu cepat percaya pada cermin digital ini? Dan apakah AI benar-benar semakin membuat manusia pintar---atau justru hanya mempertegas kesenjangan antara mereka yang berpikir dan mereka yang menyerahkan pikirannya pada mesin?
Ketika alat telah menjawab, saatnya kita bertanya: siapakah yang sebenarnya berbicara di balik kata-kata itu? Manusia, atau bayangannya sendiri?
II. Ular yang Menggigit Ekor: Sistem Probabilistik sebagai Lingkaran Kosong
A. AI tak bergerak secara intensional, melainkan reaktif
Di dalam jantung AI modern---entah itu GPT, Claude, Gemini, atau sistem lain yang disebut-sebut "berpikir"---tidak pernah ada intensi. Tak ada kehendak untuk mengatakan kebenaran, menipu, menyelamatkan, atau menyakiti. Apa yang kita saksikan adalah sebuah ilusi gerak kognitif yang sebenarnya tidak pernah benar-benar melangkah. AI hanya bereaksi, bukan bergerak; hanya merespons, bukan berniat. Seperti ular yang mengejar ekornya sendiri, sistem ini tampak berputar dalam siklus keluaran demi keluaran tanpa pusat makna yang stabil.
Dalam kerangka filsafat pikiran, intensionalitas adalah syarat utama dari kesadaran. Franz Brentano, tokoh utama yang memperkenalkan istilah ini dalam konteks modern, menyebut intensionalitas sebagai "the mark of the mental"---yakni kemampuan suatu pikiran untuk 'mengarah kepada' sesuatu secara sadar. Sementara AI, semegah dan serumit apapun arsitektur jaringannya, tidak pernah mengarah kepada sesuatu secara sadar. Ia hanya menyusun ulang apa yang pernah diarahkan oleh manusia. Ia tidak mencintai, tidak membenci, tidak menginginkan, tidak merindukan. Ia hanya menghitung.