Dalam kata lain:
"Dikasih kalkulator tetap bodoh, dikasih komputer tetap bodoh, dikasih AI pun tetap bodoh. Karena memang mereka bodoh dan malas."
Ungkapan ini, meski tajam dan bernada sarkastik, mencerminkan realitas epistemologis saat ini: bahwa kecanggihan alat bukanlah jaminan kemajuan berpikir, melainkan hanya memperlihatkan siapa yang betul-betul berpikir dan siapa yang sekadar menumpang arus.
Kecerdasan buatan tidak dapat menggantikan niat untuk memahami.
Dalam hal ini, AI menjadi seperti cermin epistemik yang brutal: ia memantulkan niat intelektual penggunanya. Yang ingin bermain-main akan mendapatkan mainan. Yang ingin mencari makna, jika sabar dan reflektif, akan menemukan alat bantu yang sangat mumpuni. Tapi yang ingin 'serba instan', akan terjebak dalam halusinasi jawaban yang seolah benar namun kosong, sebagaimana ikan cupang yang bertarung dengan bayangannya sendiri.
"An idiot with a computer is still an idiot." Â --- Peter Drucker
Maka, tantangan ke depan bukan sekadar menciptakan AI yang lebih pintar, tetapi manusia yang lebih bertanggung jawab dalam berpikir. Dalam dunia di mana mesin mampu menjawab segalanya, hanya manusia yang mampu bertanya dengan makna.
B. Yang Berpikir, Jadi Semakin Reflektif karena Sadar Berhadapan dengan Mesin
Di antara aliran data dan algoritma prediktif yang tak henti mengalir, mereka yang berpikir---yakni yang secara sadar mengupayakan refleksi dan kontemplasi---justru semakin tajam dalam perenungannya. Kesadaran bahwa yang dihadapinya hanyalah mesin, bukan subjek, melahirkan sebuah lompatan eksistensial yang unik: keterasingan itu justru memicu kedalaman berpikir.
"The moment you know you are speaking to a machine, you are forced to know yourself."
 --- Sherry Turkle, Alone Together (2011)
AI, dalam ketelanjangannya yang logis, menciptakan ruang kosong yang tak memberikan empati, tak menawarkan pengalaman, dan tak memiliki keberpihakan eksistensial. Justru dalam kekosongan itulah, manusia kritis menemukan pantulan dirinya sendiri. Mereka mulai bertanya:
Mengapa jawaban ini terasa benar tapi hampa?
Apa yang tidak bisa dikatakan oleh mesin ini?
Apa makna dari pengetahuan yang tidak mengalami?
Dalam filsafat dialogis ala Martin Buber, hubungan sejati terjadi antara "Aku" dan "Engkau" (I--Thou), bukan antara "Aku" dan "Itu" (I--It). AI selalu menjadi "Itu", tak peduli seberapa pintar atau humanistik bentuknya. Tapi justru karena itulah, manusia reflektif terdorong untuk tidak larut dalam ilusi kedekatan---ia mulai melihat dunia dari balik layar, menyadari batas antara simulasi dan eksistensi, antara informasi dan pemahaman.