Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Formulasi Model Resolusi Konflik Profetik Berbasis Dinamika Persahabatan

17 April 2025   09:02 Diperbarui: 17 April 2025   09:02 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sementara itu, Lederach (1997) dalam model conflict transformation menekankan pentingnya pendekatan relasional dan berorientasi jangka panjang. Ia mengusulkan pendekatan rekonsiliasi yang memadukan keadilan, kebenaran, pengampunan, dan damai. Pendekatan ini memiliki kesamaan dengan resolusi konflik dalam Islam yang berbasis pada islah, sulh, dan 'afw (pengampunan). Model resolusi konflik profetik yang dikembangkan dalam studi ini meminjam kerangka relasional Lederach, namun dengan penyesuaian nilai-nilai spiritual Islam.

2.2 Psikologi Persahabatan dan Afinitas Ideologis

Kajian psikologi sosial menunjukkan bahwa persahabatan dibentuk oleh dua dimensi utama: afeksi emosional (sehati) dan kesesuaian kognitif atau ideologis (sepikiran). Teori Similarity-Attraction Paradigm (Byrne, 1971) menyebut bahwa kemiripan nilai, sikap, dan keyakinan cenderung memperkuat kedekatan sosial. Namun, penelitian lanjutan juga menegaskan bahwa konflik bisa muncul bahkan di antara individu yang sepikiran, jika tidak memiliki afeksi interpersonal yang kuat.

Studi tentang affective versus cognitive trust (McAllister, 1995) juga menjelaskan bahwa dalam hubungan yang tahan lama, kepercayaan emosional (berbasis kasih sayang, pengalaman bersama) lebih menentukan daripada kepercayaan kognitif (berbasis kapabilitas dan ide). Dalam konteks sejarah Islam, misalnya, relasi antara Ali dan Abu Bakar menunjukkan keharmonisan sepikiran dan sehati meski dalam nuansa politik yang rumit. Sementara hubungan Musa dan Khidir memperlihatkan konflik karena ketidaksamaan kerangka epistemik (tidak sepikiran), namun berakhir damai karena ketulusan hati (sehati).

2.3 Studi-Studi Sebelumnya tentang Konflik dalam Sejarah Islam

Penelitian sejarah Islam telah banyak membahas konflik antarsahabat, namun dominan dalam bentuk kronik naratif atau studi fiqih politik. Misalnya, karya Wilferd Madelung The Succession to Muhammad menyoroti secara detail ketegangan dalam masa awal khilafah pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, dengan penekanan pada peran Ali dan kelompok Quraisy. Namun, pendekatan ini belum secara sistematis membingkai konflik sebagai gejala psikososial dan spiritual yang kompleks.

Kajian dalam Hadith Studies juga menyentuh konflik persepsi antara tokoh seperti Aisyah dan Ali, terutama dalam konteks kasus Ifk (fitnah) dan perang Jamal, namun sebagian besar terbatas pada pembelaan terhadap keabsahan posisi masing-masing. Studi-studi ini kurang mengeksplorasi bagaimana konflik itu sebenarnya membuka ruang pembelajaran spiritual, introspeksi kolektif, dan rekonsiliasi yang sesuai dengan nilai-nilai profetik.

Penelitian ini hadir sebagai jembatan antara kajian historis-deskriptif dan pendekatan teoritis-transformasional, dengan menawarkan model analisis relasi berdasarkan parameter afeksi dan ideologi, serta model resolusi konflik profetik sebagai alternatif dari pendekatan politis-legalistik.

2.4 Konsep Ukhuwah dan Adab Ikhtilaf dalam Tradisi Islam

Tradisi Islam mengenal konsep ukhuwah dalam tiga bentuk: ukhuwah islamiyah (persaudaraan seiman), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan). Dalam konteks persahabatan para sahabat dan para nabi, ukhuwah tidak hanya bersifat formal, tapi juga etis dan eksistensial. Ukhuwah mengandaikan pengakuan terhadap perbedaan, namun dengan komitmen menjaga silaturahmi dan mencegah fitnah.

Selain itu, Islam juga mewariskan konsep adab al-ikhtilaf (etika dalam perbedaan pendapat). Al-Syafi'i dan para ulama klasik telah mencontohkan bagaimana perbedaan hukum tidak lantas memutus ukhuwah. Dalam konteks konflik Ali--Aisyah, meskipun perbedaan politik dan emosi terjadi, riwayat menunjukkan bahwa penghormatan terhadap kemuliaan satu sama lain tetap dijaga. Ini menjadi landasan bagi model resolusi konflik profetik yang tidak hanya bertumpu pada penyelesaian masalah (problem solving), tetapi juga pada penyucian niat (tazkiyah), restorasi kepercayaan (ta'awwun), dan rekonsiliasi spiritual.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun