Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005 (SAGKI 2005) diselenggarakan di Caringin Bogor pada 16 November 2005 sampai dengan 20 November 2005. Tema SAGKI kali ini "Bangkit dan Bergeraklah". SAGKI 2005 dihadiri oleh utusan dari keuskupan-keuskupan di seluruh Indonesia yang terdiri dari uskup berjumlah 36 orang, biarawan berjumlah 88 orang, awam laki-laki berjumlah 108 orang (jadi jumlah laki-laki keseluruhan 232 orang), biarawati berjumlah 8 orang, dan awam perempuan berjumlah 103 orang (jadi jumlah perempuan keseluruhan 111 orang). Kaum muda peserta Pertemuan Nasional  Orang Muda Katolik 2005 (PERNAS OMK 2005) juga diikutsertakan dalam Sidang Agung ini.
Walaupun jumlah peserta laki-laki lebih banyak dari peserta perempuan, namun  sudah tampak perhatian Gereja untuk memperhitungkan kaum perempuan dengan mengundang seperempat lebih jumlah peserta perempuan dari peserta sidang. Para peserta SAGKI menemukan 17 masalah pokok yang menyebabkan ketidak-adaban publik, dan salah satunya adalah masalah kekerasan dalam rumah tangga dan ketidaksetaraan gender. Para wakil keuskupan SAGKI merekomendasikan antara lain, peran perempuan yang lebih besar dalam Gereja sebagai media pembelajaran serta mendorong terbentuknya lembaga Gereja yang memberi perhatian terhadap pemberdayaan perempuan (Dokumentasi SAGKI 2005, 2006: 103).
Menurut laporan diskusi kelompok berkaitan dengan masalah kekerasan dalam rumah tangga atau ketidaksetaraan gender, ada tiga unsur penting yang turut menciptakan ketidakadaban tersebut, yakni, Gereja, keluarga dan komunitas. Gereja sebagai komunitas dipandang tidak peka dan tidak tanggap terhadap masalah-masalah aktual terutama berkaitan dengan persoalan kekerasan dan ketidakadilan yang berbasis gender. Bahkan Gereja termasuk tidak menanggapi secara serius nilai-nilai spiritualitas perjuangan perempuan. Sebagai institusi Gereja kurang memanfaatkan potensi perempuan secara maksimal, termasuk tidak melibatkan perempuan dalam gerakan dan pengambilan keputusan (Dokumentasi SAGKI 2005, 2006: 237-238). Â
4. Arah Dasar Keuskupan Semarang (Ardas KAS)
Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang 1995-2000 (Ardas KAS) yang ditandatangani oleh Uskup Agung Semarang Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ menegaskan mengenai cita-cita untuk semakin setia mengikuti Yesus Kristus dengan membela kehidupan dan menjunjung tinggi martabat manusia. Dikatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya kemerosotan penghargaan terhadap  martabat manusia karena kuasa dosa yang berbentuk dominasi patriarki. Maka usaha untuk mewujudkan cita-cita Gereja didasari keyakinan  akan Sabda Tuhan, bahwa: "manusia laki-laki dan perempuan adalah citra Allah yang erat berhubungan dengan pelestarian lingkungan" (bdk, Kej 1 dan 2).
Kemudian dalam Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang 2001-2005 yang ditandatangani oleh Uskup Agung Semarang Ignatius Suharyo Pr, menegaskan kembali arah dasar Umat Allah, yakni melalui:
Pengembangan persekutuan paguyuban-paguyuban yang terbuka, bersahabat, saling mengasihi secara tulus, dan mengutamakan yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Untuk mencapai cita-cita tersebut diperlukan tata pengembalaan yang mengikutsertakan, mengembangkan dan memberdayakan seluruh umat, dan bekerja sama dengan siapa pun yang berkehendak baik (alinea 2 dan 3).
Tata pengembalaan KAS yang mengikutsertakan, mengembangkan serta memberdayakan menjadi dasar bagi laki-laki dan perempuan untuk bekerja sama sebagai mitra dalam karya perutusan Gereja lokal. Mengikutsertakan (partisipatif) aktif diletakkan dalam kemitraan yang sederajat, artinya satu sama lain saling menghargai dan terbuka serta melengkapi.Â
Mengembangkan (transformatif), berarti perubahan pola hidup secara mendasar, yakni membaharui diri dan situasi hidup masyarakat yang mengalami ketidakadaban publik. Memberdayakan (empowering) mengandung arti menerima, mengakui dan bersedia berbagi karunia satu sama lain (Ardas KAS 2001-2005, 2001: 22-24).Â
Contoh tata penggembalaan yang mengikutsertakan, mengembangkan dan memberdayakan, perempuan diberi kesempatan menjadi pelayan altar (putri altar), perempuan boleh menerimakan komuni (prodiakon), mendapat kesempatan masuk dalam kepengurusan dewan paroki.
Dijelaskan pula bahwa dalam masyarakat dewasa ini nilai-nilai Kristiani perlu ditegakkan melalui upaya perjuangan hak asasi manusia. Usaha dan perjuangan ini hendaknya berlandaskan pada hormat akan martabat manusia, menghargai kehidupan, menegakkan keadilan yang berwawasan gender, melestarikan lingkungan hidup dan keutuhan ciptaan (Ardas KAS 2001-2005, 2001: 18).