Para Uskup mengakui bahwa kaum perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam berbagai penyelenggaraan kehidupan, baik dalam keluarga, masyarakat maupun dalam Gereja.
Para Uskup mengakui sudah banyak perempuan yang menjadi pemimpin dunia dan pemimpin dalam gerakan tanpa kekerasan menolak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Para Uskup merasa prihatin akan kondisi struktur sosial dan perilaku patriarkis yang menindas perempuan di berbagai bidang kehidupan, bidang ekonomi, pendidikan, politik, tradisi keagamaan, kesehatan, hukum dan perundang-undangan, serta lingkungan hidup.
Para Uskup merasa turut bersalah akan penindasan yang saat ini terjadi serta menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga, Gereja maupun masyarakat.
Para Uskup mendorong usaha solidaritas untuk membantu perempuan yang mengalami diskriminasi, serta mendorong semua pihak untuk peduli terhadap nasib perempuan.
Isi Surat Gembala KWI 2004 meyatakan keprihatinan Gereja terhadap persoalan perempuan, serta ajakan pemimpin Gereja yang ditujukan kepada semua pihak untuk bersama-sama membangun "habitus baru" sebagai budaya tandingan dalam menyikapi isu perempuan.Â
Para Uskup melihat kenyataan yang menyebabkan pelecehan, penindasan, dan diskriminasi terhadap perempuan sebagai usaha merusak citra Allah yang membuat Gereja tidak bisa berdiam diri. Segala bentuk diskriminasi yang terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik dalam keluarga, Gereja, maupun masyarakat akhirnya membatasi keterlibatan perempuan secara penuh dalam masyarakat dan Gereja. Membangun budaya tandingan (habitus baru) menurut Iswanti, berarti membangun budaya atau keadaban yang lebih egaliter, demokratis serta adil untuk menggantikan keadaban patriarki (Iswanti, 2005: 9).
Berhadapan secara langsung dengan keprihatinan serta masalah-masalah perempuan, Gereja tetap meyakini bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup menggereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keyakinan Para Uskup didasari oleh ajaran-ajaran Gereja setelah Konsili Vatikan II yang senantiasa menekankan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan setara menurut citra Allah (bdk. Kej 1:27-28).
Singkatnya, Surat Gembala KWI 2004 tentang "Kesetaraan Perempuan dan Laki-Laki sebagai Citra Allah" merupakan ajakan Gereja Katolik Indonesia kepada umatnya supaya peka serta memiliki perhatian dan kepedulian terhadap masalah kemanusiaan, dengan cara membangun solidaritas bersama kaum perempuan.Â
Gereja secara khusus mengundang para perempuan untuk semakin terbuka dan berani mengungkapkan pengalaman-pengalamannya, terlebih bila mengalami diskriminasi, pelecehan, kekerasan; Â terutama yang terjadi dalam keluarga dan Gereja. Selain itu, Gereja memberi dukungan terhadap usaha perempuan untuk terlibat dalam berbagai bidang kehidupan, seperti dalam bidang sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, dan agama. Karena, perempuan dan laki-laki itu sama dan setara di hadapan Allah.
3. Sidang Agung  Gereja Katolik Indonesia 2005 (SAGKI 2005)