Mohon tunggu...
Arnoldus Ajung
Arnoldus Ajung Mohon Tunggu... Guru - Inspirasi Hidup

Hidup selalu dihadapkan pada pilihan. Maka hidup harus selalu dimaknai, agar hidup berkualitas. Hidup yang berkualitas adalah hidup yang bermakna dan bernilai, tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Mencoba memaknai hidup yang dianugerahkan, mencari butir-butir mutiara hidup yang tersembunyi di dalam setiap peristiwa dan pengalaman hidup.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pandangan dan Praksis Gereja terhadap Perempuan

2 September 2021   19:00 Diperbarui: 18 Januari 2024   07:50 1572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:https://heypasjon.com/perempuan-perempuan-murid-yesus/

Panggilan Perempuan dalam Perutusan Gereja Menurut Mulieris Dignitatem (MD)

Pada 15 Agustus 1988, tepatnya pada kesempatan Tahun Maria, Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan  Surat Apostolik Mulieris Dignitatem (Martabat Kaum Wanita). Surat Apostolik ini berbicara tentang "Martabat dan Panggilan Kaum Wanita".

Surat Apostolik Mulieris Dignitatem  (MD) diawali dengan sebuah pengantar yang menyatakan bagaimana Gereja telah menanggapi masalah martabat  dan panggilan kaum perempuan, sebagai sebuah "tanda jaman". Artinya masalah perempuan dan gerakan-gerakan yang memperjuangkan kesetaraan  antara laki-laki dan perempuan merupakan sebuah gerakan Roh yang mendesak serta membutuhkan tanggapan serius dari semua pihak yang berkehendak baik.

Paulus Yohanes Paulus II, dalam Surat Apostolik Mulieris Dignitatem (MD) atau "Martabat Kaum Perempuan" dengan sangat jelas dan tegas menyatakan bahwa ada dua dimensi panggilan untuk kaum perempuan:

Sekarang kita  harus memusatkan renungan kita pada keperawanan dan keibuan sebagai dua dimensi khusus dari terpenuhinya cita-cita kepribadian wanita. Dalam terang Injil, mereka mendapat arti dan nilainya yang penuh di dalam Maria yang sebagai seorang Perawan menjadi Bunda Putera Allah (MD, art. 17).

Jadi menurut Surat Apostolik MD panggilan perempuan mengandung dua dimensi, yakni keperawanan dan keibuan. Panggilan yang didasarkan pada dimensi khas perempuan menjadi acuan atau tolak ukur bagi martabat perempuan atau kepribadian perempuan yang sejati. Panggilan keibuan menunjuk institusi perkawinan sebagai syarat pokoknya.

Martabat dan panggilan kaum perempuan--seperti juga untuk kaum pria--mendapatkan sumbernya yang abadi di dalam hati Allah. Dan dalam kondisi eksistensi manusia sekarang ini mereka secara erat dikaitkan dengan "persekutuan dari dua orang" (MD, art. 14).

Maka perkawinan hendaknya dipahami dalam konteks persekutuan antara perempuan dan laki-laki (MD, art. 18) yang dianalogkan sebagai persekutuan Kristus dengan jemaat (MD, art. 23) "Kristus adalah mempelai pria dari Gereja dan Gereja adalah mempelai wanita dari Kristus". 

Dengan kata lain, panggilan dan martabat perempuan ini muncul dalam ekspresi dan panggilan dalam kehidupan perkawinan. Kemudian Paus (art. 24) menjelaskan suatu analogi yang berdasarkan Surat Paulus kepada Jemaat di Efesus, "...dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus. Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus kepada jemaat,..."( Ef 5:21-23).

Sedangkan dimensi keperawanan dijelaskan sebagai jalan bagi kaum wanita dalam menyatakan kewanitaannya melalui cara yang berbeda  dari perkawinan. Arti keperawanan  berdasarkan Injil diperkembangkan dan dimengerti secara lebih baik sebagai satu panggilan bagi kaum wanita, dimana martabat mereka mendapatkan peneguhannya, seperti yang terjadi pada Bunda Maria, Perawan dari Nazaret (MD, art. 20). Keperawanan menurut Injil berarti meninggalkan perkawinan, jadi karena itu meninggalkan keibuan fisik, disebut sebagai keibuan "menurut Roh" (MD, art. 21). Maka Bunda Maria adalah "model" bagi panggilan perempuan sebagai perawan.

Menurut Iswanti, kedua dimensi panggilan perempuan yang didasarkan pada dimensi khas perempuan menjadi referensi bagi apa yang disebut martabat perempuan atau kepribadian perempuan yang sejati. Singkatnya, dalam perkawinan dan panggilan keibuan, cinta dan kesiapsediaan, terbuka bagi semua orang, terutama cinta orang tua kepada anak. Sedangkan dalam keperawanan, kesiapsediaan itu terbuka untuk semua orang yang dirangkum oleh cinta Kristus Sang mempelai (Iswanti, 2003: 109).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun