Menurut Paus Yohanes Paulus II, kekuatan moral dan spiritual seorang perempuan terletak pada kesadarannya bahwa Allah mempercayakan manusia padanya dalam suatu cara yang istimewa (MD, art. 30). Kesadaran dan panggilan fundamental inilah yang berbicara kepada kaum perempuan mengenai martabatnya yang diterima dari Allah sendiri, serta menguatkan dan meneguhkan panggilan mereka.
Praksis Gereja terhadap Gerakan-Gerakan  GenderÂ
1. Ajaran Sosial Gereja
Gereja setelah Konsili Vatikan II mulai membuka diri terhadap persoalan-persoalan, keprihatinan-keprihatinan serta perjuangan-perjuangan, baik individu, lembaga, organisasi, agama-agama, maupun gerakan-gerakan kemanusiaan di berbagai belahan dunia. Melalui ajaran-ajaran iman dan sosial serta himbauan kemanusiaan, Gereja berusaha mendukung segala usaha dan perjuangan "semua orang yang berkehendak baik" untuk bersama-sama menciptakan dunia yang beradab dan berperikemanusiaan.
Gereja mengakui bahwa kaum perempuan dari waktu ke waktu semakin menyadari martabat kemanusiaan mereka, sehingga mereka menuntut agar diperlakukan dengan adil sebagai pribadi manusia yang utuh, memiliki hak dan kewajiban, baik dalam kehidupan keluarga, maupun kehidupan berbangsa dan bernegara.Â
Kaum perempuan menyadari bahwa ketidakadilan dan penindasan terhadap mereka dalam berbagai bidang kehidupan mengancam martabat mereka sebagai manusia serta pribadi otentik yang memiliki kebebasan.Â
Oleh sebab itu, kaum perempuan menuntut untuk tidak  dipandang sebagai makhluk yang tidak berjiwa dan diperlakukan sebagai alat belaka (PT, art. 41).Â
Seruan Ensiklik Pacem in Terris (PT) tentang perempuan yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes XXIII merupakan sebuah pengakuan Gereja akan martabat kaum perempuan yang melekat erat dalam kodratnya sebagai manusia dan dilihat sebagai salah satu "tanda-tanda jaman".
Diakui pula dalam "Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini" atau Gaudium Et Spes (GS) Â akan aspirasi umat manusia yang semakin universal, yakni berkaitan dengan keadilan sosial bagi kaum perempuan. Konstitusi GS mengatakan bahwa kaum perempuan menuntut kesamaan dengan kaum laki-laki berdasarkan hukum, maupun dalam kenyataan, bila kesamaan belum mereka peroleh (GS, art. 9).Â
Ditegaskan pula oleh Gereja bahwa setiap jenis diskriminasi, baik bersifat sosial atau budaya, maupun berdasarkan jenis kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau agama harus diatasi dan disingkirkan karena bertentangan dengan maksud Allah (GS, art. 29).Â
Pribadi manusia merupakan pusat dan yang terpenting dari seluruh ciptaan di bumi. Manusia, pria maupun wanita, diciptakan menurut citra Allah yang memiliki kehendak bebas, cerdas, dan sebagai makhluk sosial (GS, art. 12). Hal ini menyangkut martabat manusia sebagai pribadi yang dipanggil dalam menanggapi segala permasalahan hidup di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan negara serta dunia.Â