Trump (mengangguk pelan): "I see... Tapi kamu tahu nggak? Gara-gara kebijakan itu, industri dalam negeri kami tumbuh, lapangan kerja naik. Rakyat kami senang. Kalau kita terus mengimpor barang murah, industri kami mati."
"Saya paham, Mr. Presiden. Tapi bagaimana dengan kerja sama? Indonesia adalah mitra strategis. Kalau tarif terlalu tinggi, kami bisa beralih ke pasar Tiongkok, Eropa, atau Timur Tengah."
"Huh... Kamu ada benarnya. Tapi kamu tahu, tarif itu juga strategi negosiasi. Kadang kami tekan, lalu tawarkan kerja sama yang lebih menguntungkan, " jelas Trump sambil menarik nafas.
"Semoga begitu, Mr. Presiden. Karena dagang itu bukan soal menang-kalah, tapi saling untung. Kalau kami rugi terus, ya kami cari pasar lain," jawab saya sambil tersenyum
Trump (menyeruput kopi): "Mungkin kita harus menurunkan tarif... sedikit saja. Demi teman-teman."
"Deal Mr. Presiden. Asal jangan buat kopi ini kena tarif juga ya Pak."
Trump (tertawa): "Haha! Ini gratis."
Belum lagi suara tawa Presiden Trump hilang di telinga, tiba-tiba pundak saya ditepuk.
"Whoi, minum kopi kok melamun. Melamunkan apa sih?," ujar teman saya yang tadi menepuk pundak dan bikin kaget.
"Enggak melamun. Tadi lagi membayangkan ngobrol dengan Presiden Donald Trump. Katanya beliau sering ngopi di kedai kopi ini," jawab saya.
"Itu mungkin dulu, waktu belum jadi presiden. Sekarang sih pasti susah nongkrong di kedai kopi apalagi blusukan. Pengawalnya bakalan susah menjaganya," jelas teman saya.