Mohon tunggu...
Rinrin
Rinrin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Horor Artikel Utama

Teror di Desa Klenik

10 Oktober 2023   11:48 Diperbarui: 20 Oktober 2023   09:50 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sesajen | KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI 

Aku mulai berhenti beberes pakaian dan alat-alat kesehatan seperti stetoskop, tensimeter juga obat-obatan ketika mendengar suara janggal di tengah-tengah keheningan. 

Sontak dadaku bergolak, tubuhku menegang dan merinding secara bersamaan. Suasana kamar berdinding anyaman bambu itu terasa lebih dingin dan pengap, entah aura apa yang baru saja memenuhi seisi ruangan. 

Aku berputar dengan harapan bisa mendeteksi dari mana dan siapa yang tengah nyinden tersebut. "Riana? Bu Asih?" Aku pikir itu suara salah satu dari mereka.

Baca juga: Celengan Ayam Anita

Namun, tidak ada jawaban. Nyanyian sinden yang ku ketahui berbahasa Jawa itu malah mengalun kian kencang, aku ngibrit ke luar kamar dan saat di lorong menuju dapur, aku tak sengaja menabrak Riana. Aku baru ingat, tadi ia pamit pergi ke jamban.

Riana terlonjak, terdorong mundur oleh tubuhku. "Lho, Kenapa Sekar? Kok kelihatan ketakutan?" tanyanya kaget.


Aku menelan ludah, menggeleng berusaha menyembunyikan rasa takut. Aku memilih untuk tidak memberitahunya. 

 "Aku hanya kebelet."

***

Mengemban tugas ke sebuah desa yang masih akrab dengan hal-hal berbau klenik, memegang erat budaya leluhur, konsisten menjaga adat istiadat dan rutin melakukan ritual-ritual, membuatku harus mengakrabkan diri dengan kepulan menyengat dari kemenyan, bau berbungaan seperti kantil dan melati di setiap harinya.

Setelah mengamati, aku teringat pelajaran sekolah dulu tentang paham animisme di zaman prasejarah. Dan jika membandingkannya dengan tempatku tinggal, peradaban sejenis ini jejaknya sudah tak lagi terdeteksi tergilas oleh kemodernan. 

Sebagai seorang tamu, aku tidak banyak berkomentar meskipun benakku disarangi keheranan, dirong-rong rasa penasaran dan tentunya digentayangi ketakutan.

Aku terperanjat saat sebuah tepukan terasa menghentak di bahuku. Ragu-ragu aku menoleh dan mendapati pemilik rumah menatapku dingin. "Jangan melamun!" katanya penuh penekanan.

"Eh, iya, Bu," sahutku pelan. "Oh iya apa ada yang saya bisa bantu?" Pada akhirnya aku menanyakan hal itu agar tidak dianggap melamun lagi.

Bu Asih menggeleng sambil berlalu ke dapur, lalu kembali lagi ke ruangan depan dengan membawa keranjang bambu. "Saya mau pergi, ada urusan. Ingatkan temanmu itu, kalau hari sudah gelap masuk ke rumah jangan berani-berani kelayapan."

"B—aik."

Setelah Bu Asih pergi, aku beringsut ke kamar menunggu Riana yang sedang ada keperluan. Sebelum kami berpisah ia melempar senyum yang ganjil. Aku bergidik, betapa misteriusnya warga-warga di sini. 

Peringatan seperti tadi sebenarnya itu bukan kali pertama, sejak kedatanganku tiga hari yang lalu, Bu Asih selalu memperingatkanku agar tidak melamun. 

Sebenarnya aku tidak demikian, hanya saja kalau tak ada kegiatan, aku sering menekuri keadaan di luar sana dari jendela. Pikiranku tetap terkoneksi dengan sekitar tidak sampai kosong seperti anggapannya. 

Selain itu, Bu Asih juga berpesan tegas, "Jaga sikap dan tindakan jangan sampai berbuat macam-macam, hargai budaya dan aturan di sini." Aku manggut-manggut paham, toh aku memegang erat pepatah "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung". 

Namun, yang jadi masalahnya temanku, Riana. Ia tipe orang yang ceplas-ceplos. Sampai-sampai aku harus memperingatkannya berkali-kali agar menjaga perilaku dan ngerem tutur katanya.

Di sore menjelang pergantian hari saat aku menutup jendela kamar, dari luar terdengar jeritan Riana tepatnya di jamban. Aku melongokan kepala, "Riana? Ada apa?"

Riana tidak menyahut, sedangkan aku harus segera menutup jendela karena hari sudah mulai gelap. Merasa khawatir dengan temanku, aku berniat menyusulnya tapi baru hendak melangkah, Riana melesat datang dan langsung menutup pintu dengan wajah pucat pasi.

"Kenapa? Ada apa lagi?" tanyaku cemas.

"A—da darah, Sekar! Gentong air di jamban mendadak berisi darah. Darah segar, bau amisnya sangat menyengat," jelas Sekar yang ketakutan.

Aku menelan ludah. "Tapi sebelum kamu, aku terlebih dahulu ke jamban tapi gentongnya berisi air, Riana."

"Sumpah aku tidak salah lihat, Sekar," katanya tak kalah cemas dariku. "Kamu tahu? Selama aku di jamban, di dapur terdengar suara-suara seperti orang sedang masak. Aku mengira Bu Asih sudah pulang. Tapi saat aku menerobos masuk, tidak ada siapa-siapa, hanya kursi bambu reyot itu yang bergerak," lanjutnya gemetaran.

"Tapi aku tidak mendengar apa-apa dari dapur," kataku lemas.

Riana mendesah dongkol, guratan frustasi tersirat di wajahnya. "Kita sudah tiga hari di sini, Sekar. Sudah sering mengalami hal-hal aneh, mulai dari bau bangkai dan kembang melati yang tiba-tiba menguar entah dari mana. 

Suara sinden, ketukan di jendela, suara-suara aneh dari halaman ketika malam. Kita seperti diteror, mereka nggak suka kita ada di sini. Sebenarnya ini desa apa sih? 

Ilustrasi sesajen (naturesdoorways.tumblr.com)
Ilustrasi sesajen (naturesdoorways.tumblr.com)

Orang-orangnya juga pada aneh, hidupnya hanya tentang ritual-ritual.  Mereka nggak percaya medis, mereka penyembah mistis. Aku nggak habis pikir kenapa pihak puskesmas melempar kita bertugas di sini. 

Apa sebelumnya mereka tidak melakukan riset? Pemerataan pelayanan kesehatan takkan berjalan mudah di sini, Sekar!" Riana mengusap wajahnya gusar, lalu melanjutkan bicaranya, "Kita di sini hanya sia-sia. Kita tidak bisa bertugas sebagai mestinya. 

Niatnya kita ingin menolong mereka, tapi bisa-bisa kita yang nggak tertolong kalau saja dua minggu ke depan kita masih di sini. Yang paling gila, mereka tidak pernah melakukan ibadah. Kemarin kita sudah menyisir seluruh wilayah di sini, tak ada tempat ibadah satupun. 

Pemandangan yang akrab dengan kita, hanya sesajen yang membanjiri setiap sudut desa. Aku tambah yakin kalau mereka gerombolan pemuja s—"

Tanganku refleks membekap mulut Riana sehingga kata-kata selanjutnya yang nyaris dilontarkan tertahan di tenggorokannya. Mataku melotot memperingatinya, kalau sampai aku telat membungkam mulutnya, aku tidak bisa membayangkan hal mengerikan apa yang akan menimpa kami di sini. 

Kami saat itu benar-benar merasa dikelilingi aura gelap, seperti diintai psikopat yang tengah kehausan darah dari balik bilik kamar. 

Napas kami memburu, detak jantung bertempo lebih cepat. Aku melihat genangan air di pelupuk mata Riana. Aku mengerti hari ketiga ini titik paling gila dari rasa ketakutan yang dirasakannya.

Beberapa menit kami terbungkam oleh keadaan mencekam, seolah-olah menunggu sesuatu yang akan terjadi dalam waktu dekat. Namun, tidak ada apa-apa, aku melepaskan bekapan dari bibir Riana yang bergetar. 

Dia menyeka air matanya, aku berusaha menenangkan dan berniat membawakan air minum tapi belum sempat melangkah. Namun, sekonyong-konyong ada gebrakan memekakkan telinga. Kami meloncat kaget, meraung ketakutan rasanya jantungku jatuh merosot ke perut dan bersamaan dengan itu, lampu pijar 5 watt di kamar kami padam. Suara keras itu bersumber dari jendela yang terbuka dengan sendirinya. 

Cahaya langit yang belum sepenuhnya gelap berpendar, hanya itu sumber cahaya bagi kami. "Baca doa, Riana! Jangan berhenti baca doa," kataku yang langsung menyeret tangan Riana untuk segera pergi. 

Semua penerangan mati. Gelap, sebelum menutup jendela kamar, aku sudah menutup semua jendela di ruangan lain kecuali yang ada di kamar pemilik rumah. 

Lampu di rumah ini hanya tersedia di kamar kami, untuk tempat lainnya hanya diterangi berupa cempor lampu jadul. Dadaku berdegup hebat, kaki pun terasa lemas tapi aku tak mengindahkan semua itu, yang aku lakukan terus menuntun Riana yang sudah menangis ketakutan.

Meskipun rumah panggung ini tak begitu luas dan tidak banyak sekat ruangan, entah kenapa malam itu menjadi seperti labirin yang rumit. Ketika terjebak dalam situasi menegangkan, waktu berjalan terasa lamban. 

Peluh kami bercucuran, bulu roma kami meremang, sepanjang kami berusaha meraih pintu keluar rasa-rasanya intaian tak kasatmata membututi kami. 

Tak cukup sampai di situ, tiba-tiba bau kembang kantil tercium tajam, aku dan Riana yang tengah tergopoh-gopoh semakin dibuat bergidik. Belum sempat berhasil menemukan pintu, mendadak langkah kami terhenti ketika mendengar wanita nyinden lagi. Suaranya terdengar dari mana-mana, mengitari kami. 

Tubuhku mendadak kaku, Riana kian keras mencengkeram tanganku yang basah karena berkeringat. "S—ekar, di situ!" Walaupun gelap, aku masih bisa tahu ke arah mana temanku menunjukkan sesuatu dengan tatapannya. Ia melihat ke arah yang terdapat cahaya dan yang dimaksud adalah kamar pemilik rumah. 

Aku semakin kalut, kenapa pintu kamar mereka bisa terbuka? Yang jelas-jelas selalu tertutup dan terkesan sangat rahasia. Cempor di dalamnya menyala dan yang paling mengejutkan di sana ada seorang perempuan duduk di sebuah kursi kayu sedang menyisir rambutnya yang tergerai sampai ke ujung kaki, sosok itu berbaju kebaya. 

"B—u Asih, pulang," lirih Riana. Aku menggeleng, ia bukan Bu Asih, hanya mirip saja. Rambutnya pun tak mungkin sepanjang itu. Jika seandainya kami bisa berpikir jernih, kami seharusnya melarikan diri tapi entah kenapa sosok itu seperti menghipnotis kami agar tetap berdiri di sana. 

Perlahan kepala wanita berkebaya yang masih nyinden itu bergerak, memperlihatkan wajahnya dengan seringai lebar mengerikan. Sontak aku dan Riana menjerit menutupi wajah, berbarengan dengan itu, pintu kamar pemilik rumah kembali tertutup menimbulkan suara bedebum keras. Cahaya cempornya lenyap, semuanya kembali gelap, kami kehilangan arah lagi.

Kami ambruk, menangis dengan dada berdebar kencang dan sekujur tubuh gemetaran hebat. "Aku mau pulang." Riana berucap parau. Aku mengangguk berusaha meraih tangannya. 

Aku berusaha bangkit meskipun sangat lemas. "Kalau mau pulang, ayo kita cari jalan keluar," kataku seraya menarik tangan Riana. 

Kami sekeras mungkin mencari pintu lagi, namun sepanjang berusaha menyelamatkan diri, sulit untukku tak membayangkan sewaktu-waktu ada sepasang tangan dengan kuku panjang menjegal kaki atau mencengkram kuat bahu kami dari belakang. 

Di tengah-tengah kemungkinan-kemungkinan buruk itu, lidahku terus melafalkan doa sebisanya. Sedikit rasa lega baru terasa, ketika kami berhasil meraih gagang pintu dan syukurnya tidak terkunci dari luar, kami segera melepaskan diri dari rengkuhan kelam rumah itu. Riana mendahului gerak kakiku, menarik segera menjauhi rumah. Aneh, rumah lain yang jaraknya berjauhan itu tetap remang-remang oleh cempor lampu minyak tanah, tidak padam seperti milik Bu Asih.

Sinar keperakan rembulan menyirami kami di bawah, di tanah yang barangkali terkutuk ini. Aku menengadah, satelit alami itu tampak besar, supermoon. Aku hanya heran, saat di kamar melihat dari jendela yang terbuka, langit masih sedikit terang, jika tak salah memperkirakan baru saja memasuki waktu Magrib. Tetapi sekarang tampak seperti sudah sangat malam. Baik aku maupun Riana sedang tidak memakai jam tangan. Sebenarnya berapa lama tadi kami terjebak di dalam? Aku ternganga dengan fakta diluar nalar ini.

Aku baru menyadari, kemana Bu Asih dan suaminya? Biasanya ketika hari sudah mulai gelap, mereka sudah pulang. Takut dan bingung bercampur jadi kecemasan yang menyesakkan.

"A-aku ingin pulang," lirih Riana. Aku melihat temanku dengan jeri. "Besok pagi kita usahakan pergi dari sini," kataku tak kalah lirih. Kondisi Riana lebih memperhatinkan dariku, tiga hari di sini matanya sudah cekung dan mata pandanya kian menghitam.

Kami seperti anak ayam kehilangan induknya, diselimuti kebingungan dan tak tahu harus melakukan apa. Aku dan Riana masih berdiri di ruang terbuka yang sepinya bagai pekuburan. 

Padahal kami tadi berteriak, barangkali dengan suasana sunyi seperti ini walaupun berjauhan para tetangga bisa saja mendengar kami. Namun, sepertinya mereka tak peduli. Aku merasa tak sanggup lagi, jika harus lebih lama tinggal di sini. 

Desa misterius, rumah-rumah panggung sederhana yang jarak antara satu dengan yang lainnya tak bisa dijangkau hanya dengan beberapa langkah saja. Meskipun hidup mereka jauh dari kesan maju, tapi mereka terkesan makmur, padi dan tumbuhan di ladang tumbuh subur.

Di petang hari kedua, Riana membisikkan sesuatu yang membuatku terbelalak. "Hidup tanpa kesulitan padahal tinggal di tengah-tengah hutan. Apa jangan-jangan mereka bersekutu dengan dedemit meminta kesuburan tanah tempat tinggalnya ini?"

Aku menganga, langsung menaruh jari telunjuk di mulut, menyuruhnya diam. "Astaga Riana! Jangan asal ngomong. Mana mungkin, itu tak masuk akal. Barangkali tanahnya saja yang memang subur!" balasku dengan bisikan pelan.

Riana memajukan wajahnya lebih dekat ke telingaku. "Terus apa tujuan dari ritual dan sesajen itu? Konsep ibadah pada Tuhan tidak seperti itu, Sekar. Mereka memang sesa—"

Aku segera menutup mulutnya dengan buku pedoman posyandu yang ada di pangkuanku. Kesabaranku terbakar habis oleh celotehan Riana yang terlalu blak-blakan. Ia dengan segala ceplas-ceplosnya sudah cukup membuatku ketar-ketir.

Desa ini berada di tengah-tengah hutan, satu-satunya kemajuan yang bisa menyentuhnya hanyalah aliran listrik, itu juga sangat terbatas. 

Tak semua warga berkenan dialiri listrik, hanya sedikit orang menerima penerangan modern salah satunya Bu Asih dan suaminya. Itupun mereka sangat jarang menggunakannya, barangkali Bu Asih berkenan menyalakan lampu hanya karena ada kami. Akses menuju desa juga cukup sulit, hanya berupa jalan setapak yang hanya bisa ditembus dengan sepeda motor. 

Jalanan sepenuhnya bermedan tanah dengan kontur jalan tidak merata, naik turun dan bisa sangat licin jika turun hujan. Kami berangkat dari desa tetangga yang bukan termasuk wilayah terisolir membutuhkan waktu hampir dua jam. Jujur saja kejadian horor di sini lebih brutal melebihi serentetan kejadian aneh saat masa-masa kuliah, praktek di rumah sakit dan saat bertugas jaga malam. 

Keheningan yang kami rasakan perlahan sirna ketika di ujung jalan tampak segerombolan orang. Ada dua obor di antara mereka. Aku dan Riana bersitatap, sama-sama terguncang. 

Saat itu di benak kami, hanya berpikir mereka tengah memburu kami berdua. Golok dan parang teracung-acung liar ingin segera menebas mangsanya. 

Mereka menganggap kami ancaman karena bisa memengaruhi masyarakat hingga menggeser nilai-nilai sakral leluhur yang mereka pertahankan selama ini. Kami bergerak mundur, melirik rumah Bu Asih yang masih gelap. 

"Apa perlu kita lari?" tanya Riana ketakutan.

Aku mengangguk, berbalik bersamaan. Namun, belum sempat juga berlari, sebuah suara menghalangi niat kami.

"Nak Sekar, Nak Riana!" Suara Bu Asih terdengar lantang.

Aku dan Riana menoleh enggan. Bu Asih termasuk di antara banyak orang dalam gerombolan. Aku melirik pada Riana karena mau tak mau, harus menunggu gerombolan itu. Mereka semakin mendekat, bayangan buruk yang terlintas di kepala lenyap begitu saja, karena tak ada satupun di antara mereka yang mengacung-acungkan senjata tajam seperti yang dibayangkan. Aku dan Riana melipir ke samping, karena mereka akan segera lewat.

Raut-raut tak ramah, kecut dan suram terpatri di wajah mereka, sosok-sosok pelit senyum. Siang hari saat berpapasan dengan warga, aku selalu berusaha menyapa tapi yang kudapat hanya tatapan datar saja. Apalagi sekarang, tidak ada gunanya bertanya apa yang telah terjadi dan kenapa ada orang ditandu diiring seperti itu. 

Tepat saat melihat bagian ujung depan tubuh orang yang ditandu itu, aku tertegun. Terdapat cairan pekat merembes di sarung penopangnya dan menetes ke bebatuan pualam. Darah, itu darah. Bau amis tercium  membuatku agak mual. Setelah gerombolan itu lewat, Riana bertanya pada Bu Asih, "Maaf, Bu. Kenapa dengan orang itu?"

"Salah satu warga di sini baru saja kedapatan jatuh dari pohon enau saat hendak mengambil air nira yang tingginya lima meter. Kepalanya pecah dan mati. Itu sebabnya saya dan suami pulang terlambat," paparnya dengan aksen Jawa yang kental.

"K—kematian warga yang ketiga semenjak kita di sini," bisik Riana."B—besok siapa lagi?" lanjutnya tergagap.

Aku tercenung. Ya, benar ini kematian ketiga. Sebelumnya hari pertama dan kedua kami di sini, kematian warga yang pertama karena terseret arus sungai, diyakini kepalanya berbenturan dengan batu hingga batok kepalanya hancur. 

Korban kedua, tertimpa pohon beringin saat sedang melewati bukit, kepala korban juga hancur isinya bercerai berai. 

Bagian terparah dari setiap korban adalah kepala, masuk akal memang jika dilihat dari jenis kecelakaannya. Mungkin kebetulan saja, ada tiga kematian beruntun dengan cedera parah di kepala. Jikapun ada sangkut pautnya dengan mistis, hal tersebut melampaui kemampuan berpikirku dan Riana.

Saat ada kejadian-kejadian darurat seperti itu, aku dan Riana menyesalkan sikap warga yang tidak memberi kesempatan untuk kami, melihat dan memeriksa korban. 

Sebelumnya, jangankan menyentuh, saat hendak masuk rumah korban saja, kami sudah dijegal. Kami kesulitan untuk bersosialisasi karena mereka menutup diri, tapi mereka tak semerta-merta langsung mengusirku dan Riana, buktinya saat ini kami masih ada di sini. 

Sejak kali pertama datang ke desa, kami sudah mendengar ada anak-anak dan bayi tengah sakit, juga seorang ibu yang hendak melahirkan. Ketika kami ingin membantu memeriksa, malah ditolak mentah-mentah dan lebih memilih berobat pada orang pintar. Siklusnya selalu seperti itu, jika ada yang sakit atau masalah lain solusi mereka adalah dukun. 

Mereka bilang, anggota keluarganya bisa sakit begitu karena melewatkan satu ritual atau salah memasang pintu, jendela dan apalah itu. Hal yang membuat kami bisa ditugaskan ke mari, seringnya terdengar warga yang meninggal tanpa pertolongan medis terlebih dahulu. Riana benar, mereka tidak percaya medis, mereka hidup diperbudak mistis. 

Aku merasakan miris yang teramat dalam. Pengetahuan sudah lebih maju, cara dan jenis pengobatan modern semakin beragam. Namun, masih ada orang-orang desa yang terjebak oleh klenik yang membutakan akal sehat mereka. Di saat banyak desa terisolir yang mengharapkan kehadiran layanan kesehatan, terdapat pula tempat yang sengaja menutup diri, anti orang luar seperti warga Desa Klenik ini.

"Suami saya ikut mengantarkan mayat. Mari masuk ke dalam," ajak Bu Asih.

Aku segera tersadar. "Eh, tapi di sana gela—"

Aku dan Riana terbelalak, ajaib. Rumah Bu Asih kembali terang. "Tapi Bu, tad—"

"Kenapa?" Bu asih memotong ucapan Riana. Tatapannya menusuk dan dipertajam oleh seringainya.

Aku tak tahu harus menjelaskan apa lagi tentang keanehan itu. Aku cepat-cepat membuang tatapan darinya, sejatinya jika semuanya normal-normal saja, tak ada yang harus ditakutkan dari sosok Bu Asih. 

Beliau bisa dibilang satu dari beberapa perempuan paling menarik di desa, usianya mungkin 40-an, tapi masih terlihat muda, segar, kulitnya bersih bak ibu-ibu kota yang melek perawatan. Rambutnya selalu digelung dan memakai kebaya tradisional

Meskipun tanpa riasan hari-harinya selalu sedap dipandang. Kali pertama bertemu dengannya, aku dan Riana cukup terkejut ada wanita secantik itu di desa terpencil. Namun, berkebalikan dengan suaminya yang terlihat lebih tua, jambang dan kumis mendominasi area wajahnya, terkesan tidak bisa merawat diri. 

Mereka hanya tinggal berdua tanpa kehadiran anak, dari kabar yang kudapat Bu Asih sudah pernah tiga kali melahirkan. Tapi saat menginjak usia dua bulan, bayi-bayinya meninggal. Makam ketiga bayi itu terletak tepat di belakang kamarku dan Riana. Aku pernah melihat di atas pusara anak-anaknya ditaruh segelas kopi hitam dan tembakau yang dilinting sejenis daun kering. 

Anehnya ketika keesokan paginya, kopi dan tembakau itu habis seakan-akan ada yang meminum dan mengisap. Entah apa tujuannya. Tapi aku sempat berteori liar, keawetan fisiknya yang masih bak remaja, apa ada hubungannya dengan kematian bayi-bayinya? Menyedot sukma sang bayi untuk mempermuda diri sendiri. Teori konyol, tak masuk akal meskipun dalam dunia ilmu hitam bisa saja ada ritual sejenis itu. Namun, intinya aku tak mengerti dengan segala keanehan-keanehan ini.

Aku menutup pintu rumah, Bu Asih menyuruhku agar langsung menguncinya, kunci yang hanya berupa grendel sederhana. Walaupun sang pemilik rumah sudah bersama kami, rasa ngeri tak kunjung pergi, ketidaknyamanan ini sepertinya akan tetap menghantui hingga pagi menjelang. Apalagi aku teringat dengan sosok wanita berambut panjang di kamar Bu Asih. 

Aku dan Riana beberapakali melirik pintu kamar yang tertutup rapat itu sembari menelan ludah, merasa was-was dan menahan takut. Semua cempor minyak tanah benar-benar menyala seperti semula, sungguh di luar nalar, kenapa bisa? Padahal tadi padam total.

"Saya tidak bisa menjamin keselamatan kalian jika kalian bersikukuh ingin tetap tinggal di sini. Kami tidak butuh petugas kesehatan seperti kalian, sejak lama kami punya sistem pengobatan sendiri. Jadi lebih baik kalian segera pergi!" kata Bu Asih sangat dingin. "Tak ada gunanya kalian lama-lama di sini, karena lebih lama akan semakin bahaya," lanjutnya semakin tak ramah.

Perkataan dan nada bicaranya yang sangat tak bersahabat itu, membuatku dan Riana membatu. Langkahku dan Riana yang hendak menuju kursi kayu dekat sana, otomatis terhenti. Dalam keremangan cahaya cempor, kami bersitatap. Belum terlambat, karena memang kami sudah ingin pulang.

"B-baik, Bu." Kami menyahut bersamaan. 

"Sebelum hari terang selambat-lambatnya jam lima pagi kalian sudah harus keluar desa. Kalau mau selamat kalian pergi saat masih gelap."

Napasku tertahan, pergi subuh-subuh? Desa ini seram bukan main belum lagi nanti harus melewati hutan. Aku dan Riana harus jalan kaki karena pulang lebih cepat dari jadwal yang ditetapkan pihak puskesmas. Jadi takkan ada yang menjemput, di sini tak ada sinyal apalagi di hutan nanti. Aku pasrah harus berjalan sebegitu lama dibandingkan harus tetap tinggal di desa aneh ini. 

"Nanti pagi saya antar kalian sampai pintu masuk desa. Sekarang saya siapkan bahan-bahan dulu untuk kebutuhan subuh nanti."

Bu Asih pergi ke dapur. Riana menyikutku. "Bahan-bahan apa. Makanan buat bekal kita, kah?" tanyanya polos.

"Sesajen, mungkin," jawabku. Mengingat segala kegiatan di sini selalu melibatkan sesajen.

Raina merotasi matanya, ia tampak jengah lalu menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Terbesit dalam pikiranku, kekhawatiran binatang buas saat di hutan nanti, tapi lebih mengerikan memikirkan kemungkinan yang akan terjadi jika kami menunda kepulangan. Aku siap dan aku yakin Riana juga sama sepertiku. Semoga di perjalanan pulang, aku dan Riana selamat sampai tujuan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun