Mohon tunggu...
Rinrin
Rinrin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Horor Artikel Utama

Teror di Desa Klenik

10 Oktober 2023   11:48 Diperbarui: 20 Oktober 2023   09:50 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sesajen | KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI 

Niatnya kita ingin menolong mereka, tapi bisa-bisa kita yang nggak tertolong kalau saja dua minggu ke depan kita masih di sini. Yang paling gila, mereka tidak pernah melakukan ibadah. Kemarin kita sudah menyisir seluruh wilayah di sini, tak ada tempat ibadah satupun. 

Pemandangan yang akrab dengan kita, hanya sesajen yang membanjiri setiap sudut desa. Aku tambah yakin kalau mereka gerombolan pemuja s—"

Tanganku refleks membekap mulut Riana sehingga kata-kata selanjutnya yang nyaris dilontarkan tertahan di tenggorokannya. Mataku melotot memperingatinya, kalau sampai aku telat membungkam mulutnya, aku tidak bisa membayangkan hal mengerikan apa yang akan menimpa kami di sini. 

Kami saat itu benar-benar merasa dikelilingi aura gelap, seperti diintai psikopat yang tengah kehausan darah dari balik bilik kamar. 

Napas kami memburu, detak jantung bertempo lebih cepat. Aku melihat genangan air di pelupuk mata Riana. Aku mengerti hari ketiga ini titik paling gila dari rasa ketakutan yang dirasakannya.

Beberapa menit kami terbungkam oleh keadaan mencekam, seolah-olah menunggu sesuatu yang akan terjadi dalam waktu dekat. Namun, tidak ada apa-apa, aku melepaskan bekapan dari bibir Riana yang bergetar. 

Dia menyeka air matanya, aku berusaha menenangkan dan berniat membawakan air minum tapi belum sempat melangkah. Namun, sekonyong-konyong ada gebrakan memekakkan telinga. Kami meloncat kaget, meraung ketakutan rasanya jantungku jatuh merosot ke perut dan bersamaan dengan itu, lampu pijar 5 watt di kamar kami padam. Suara keras itu bersumber dari jendela yang terbuka dengan sendirinya. 

Cahaya langit yang belum sepenuhnya gelap berpendar, hanya itu sumber cahaya bagi kami. "Baca doa, Riana! Jangan berhenti baca doa," kataku yang langsung menyeret tangan Riana untuk segera pergi. 

Semua penerangan mati. Gelap, sebelum menutup jendela kamar, aku sudah menutup semua jendela di ruangan lain kecuali yang ada di kamar pemilik rumah. 

Lampu di rumah ini hanya tersedia di kamar kami, untuk tempat lainnya hanya diterangi berupa cempor lampu jadul. Dadaku berdegup hebat, kaki pun terasa lemas tapi aku tak mengindahkan semua itu, yang aku lakukan terus menuntun Riana yang sudah menangis ketakutan.

Meskipun rumah panggung ini tak begitu luas dan tidak banyak sekat ruangan, entah kenapa malam itu menjadi seperti labirin yang rumit. Ketika terjebak dalam situasi menegangkan, waktu berjalan terasa lamban. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun