Mohon tunggu...
Rinrin
Rinrin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Horor Artikel Utama

Teror di Desa Klenik

10 Oktober 2023   11:48 Diperbarui: 20 Oktober 2023   09:50 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sesajen | KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI 

Peluh kami bercucuran, bulu roma kami meremang, sepanjang kami berusaha meraih pintu keluar rasa-rasanya intaian tak kasatmata membututi kami. 

Tak cukup sampai di situ, tiba-tiba bau kembang kantil tercium tajam, aku dan Riana yang tengah tergopoh-gopoh semakin dibuat bergidik. Belum sempat berhasil menemukan pintu, mendadak langkah kami terhenti ketika mendengar wanita nyinden lagi. Suaranya terdengar dari mana-mana, mengitari kami. 

Tubuhku mendadak kaku, Riana kian keras mencengkeram tanganku yang basah karena berkeringat. "S—ekar, di situ!" Walaupun gelap, aku masih bisa tahu ke arah mana temanku menunjukkan sesuatu dengan tatapannya. Ia melihat ke arah yang terdapat cahaya dan yang dimaksud adalah kamar pemilik rumah. 

Aku semakin kalut, kenapa pintu kamar mereka bisa terbuka? Yang jelas-jelas selalu tertutup dan terkesan sangat rahasia. Cempor di dalamnya menyala dan yang paling mengejutkan di sana ada seorang perempuan duduk di sebuah kursi kayu sedang menyisir rambutnya yang tergerai sampai ke ujung kaki, sosok itu berbaju kebaya. 

"B—u Asih, pulang," lirih Riana. Aku menggeleng, ia bukan Bu Asih, hanya mirip saja. Rambutnya pun tak mungkin sepanjang itu. Jika seandainya kami bisa berpikir jernih, kami seharusnya melarikan diri tapi entah kenapa sosok itu seperti menghipnotis kami agar tetap berdiri di sana. 

Perlahan kepala wanita berkebaya yang masih nyinden itu bergerak, memperlihatkan wajahnya dengan seringai lebar mengerikan. Sontak aku dan Riana menjerit menutupi wajah, berbarengan dengan itu, pintu kamar pemilik rumah kembali tertutup menimbulkan suara bedebum keras. Cahaya cempornya lenyap, semuanya kembali gelap, kami kehilangan arah lagi.

Kami ambruk, menangis dengan dada berdebar kencang dan sekujur tubuh gemetaran hebat. "Aku mau pulang." Riana berucap parau. Aku mengangguk berusaha meraih tangannya. 

Aku berusaha bangkit meskipun sangat lemas. "Kalau mau pulang, ayo kita cari jalan keluar," kataku seraya menarik tangan Riana. 

Kami sekeras mungkin mencari pintu lagi, namun sepanjang berusaha menyelamatkan diri, sulit untukku tak membayangkan sewaktu-waktu ada sepasang tangan dengan kuku panjang menjegal kaki atau mencengkram kuat bahu kami dari belakang. 

Di tengah-tengah kemungkinan-kemungkinan buruk itu, lidahku terus melafalkan doa sebisanya. Sedikit rasa lega baru terasa, ketika kami berhasil meraih gagang pintu dan syukurnya tidak terkunci dari luar, kami segera melepaskan diri dari rengkuhan kelam rumah itu. Riana mendahului gerak kakiku, menarik segera menjauhi rumah. Aneh, rumah lain yang jaraknya berjauhan itu tetap remang-remang oleh cempor lampu minyak tanah, tidak padam seperti milik Bu Asih.

Sinar keperakan rembulan menyirami kami di bawah, di tanah yang barangkali terkutuk ini. Aku menengadah, satelit alami itu tampak besar, supermoon. Aku hanya heran, saat di kamar melihat dari jendela yang terbuka, langit masih sedikit terang, jika tak salah memperkirakan baru saja memasuki waktu Magrib. Tetapi sekarang tampak seperti sudah sangat malam. Baik aku maupun Riana sedang tidak memakai jam tangan. Sebenarnya berapa lama tadi kami terjebak di dalam? Aku ternganga dengan fakta diluar nalar ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun