Mohon tunggu...
Rinrin
Rinrin Mohon Tunggu... Lainnya - amateur

🍉

Selanjutnya

Tutup

Horor Artikel Utama

Teror di Desa Klenik

10 Oktober 2023   11:48 Diperbarui: 20 Oktober 2023   09:50 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sesajen | KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI 

Jalanan sepenuhnya bermedan tanah dengan kontur jalan tidak merata, naik turun dan bisa sangat licin jika turun hujan. Kami berangkat dari desa tetangga yang bukan termasuk wilayah terisolir membutuhkan waktu hampir dua jam. Jujur saja kejadian horor di sini lebih brutal melebihi serentetan kejadian aneh saat masa-masa kuliah, praktek di rumah sakit dan saat bertugas jaga malam. 

Keheningan yang kami rasakan perlahan sirna ketika di ujung jalan tampak segerombolan orang. Ada dua obor di antara mereka. Aku dan Riana bersitatap, sama-sama terguncang. 

Saat itu di benak kami, hanya berpikir mereka tengah memburu kami berdua. Golok dan parang teracung-acung liar ingin segera menebas mangsanya. 

Mereka menganggap kami ancaman karena bisa memengaruhi masyarakat hingga menggeser nilai-nilai sakral leluhur yang mereka pertahankan selama ini. Kami bergerak mundur, melirik rumah Bu Asih yang masih gelap. 

"Apa perlu kita lari?" tanya Riana ketakutan.

Aku mengangguk, berbalik bersamaan. Namun, belum sempat juga berlari, sebuah suara menghalangi niat kami.

"Nak Sekar, Nak Riana!" Suara Bu Asih terdengar lantang.

Aku dan Riana menoleh enggan. Bu Asih termasuk di antara banyak orang dalam gerombolan. Aku melirik pada Riana karena mau tak mau, harus menunggu gerombolan itu. Mereka semakin mendekat, bayangan buruk yang terlintas di kepala lenyap begitu saja, karena tak ada satupun di antara mereka yang mengacung-acungkan senjata tajam seperti yang dibayangkan. Aku dan Riana melipir ke samping, karena mereka akan segera lewat.

Raut-raut tak ramah, kecut dan suram terpatri di wajah mereka, sosok-sosok pelit senyum. Siang hari saat berpapasan dengan warga, aku selalu berusaha menyapa tapi yang kudapat hanya tatapan datar saja. Apalagi sekarang, tidak ada gunanya bertanya apa yang telah terjadi dan kenapa ada orang ditandu diiring seperti itu. 

Tepat saat melihat bagian ujung depan tubuh orang yang ditandu itu, aku tertegun. Terdapat cairan pekat merembes di sarung penopangnya dan menetes ke bebatuan pualam. Darah, itu darah. Bau amis tercium  membuatku agak mual. Setelah gerombolan itu lewat, Riana bertanya pada Bu Asih, "Maaf, Bu. Kenapa dengan orang itu?"

"Salah satu warga di sini baru saja kedapatan jatuh dari pohon enau saat hendak mengambil air nira yang tingginya lima meter. Kepalanya pecah dan mati. Itu sebabnya saya dan suami pulang terlambat," paparnya dengan aksen Jawa yang kental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun