Mohon tunggu...
Arfi Zon
Arfi Zon Mohon Tunggu... Penulis - PNS dan Penulis

Seorang Pegawai Negeri Sipil yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Akun Facebook Ayah

24 Juni 2021   06:49 Diperbarui: 29 Juli 2021   12:44 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Arfi Zon

"Aku nggak mau mondok, Yah. Ayah pasti mau menikah lagi, kan? Ayah malas ngurus aku, kan? Makanya Ayah masukin aku ke pesantren. Supaya Ayah bebas hidup dengan istri baru Ayah nanti. Tanpa perlu repot mengurus aku. Iya, kan? Itu kan, tujuan Ayah?"

Masih segar di ingatan semburan kata-kataku penuh emosi pada Ayah enam tahun yang lalu.

Ketika itu aku baru lulus SD. Tiga bulan sebelumnya Ibu meninggal karena kanker. Ayah tiba-tiba memintaku melanjutkan sekolah di pondok pesantren. Beliau bilang telah mencarikan pesantren yang bagus untukku.

Kontan aku protes dan menggugat. Aku tak mau masuk pondok. Langsung aku menuduh, Ayah pasti mengirimku mondok karena malas mengurusku dan ingin segera menikah lagi. Ingin segera mencari pengganti Almarhumah Ibu.

Ketika itu, ayah cuma diam. Tak merespon sama sekali protes kerasku itu. Namun, Beliau sepertinya tetap bersikeras, aku harus mondok.

Aku pun akhirnya pasrah. Tak berdaya menolak. Dengan terpaksa aku meninggalkan rumah. Hidup mandiri dengan disiplin tinggi di pondok saat usiaku belum genab dua belas tahun. Usia di mana kebanyakan anak masih bermanja-manja pada orang tua mereka.

*****

Saat ini, enam tahun setelah kejadian itu, aku kembali duduk berhadapan dengan Ayah di ruangan yang sama.

Memang sudah tak ada lagi rasa sebalku pada Beliau sebagaimana ketika diantar ke pondok dulu. Tapi, interaksiku dengan Ayah tetap hambar dan kaku. Karena, aku tetap berkeyakinan bahwa dulu Ayah mengirimku ke pondok pasti hanya karena malas mengurusku dan ingin kawin lagi. Meski untuk dugaan yang terakhir sama sekali tidak terbukti.

Sampai sekarang Ayah memang tak pernah menikah lagi. Tapi, fakta itu tetap tidak membuatku salut pada Ayah. Aku yakin, Ayah tidak menikah lagi bukan karena Beliau cinta mati pada Almarhumah Ibu, tapi hanya karena takut padaku yang selalu melarang keras.

Selama aku di pondok, setiap kali Ayah datang berkunjung, aku memang selalu dengan tegas meminta Ayah untuk tidak menikah lagi. Aku bilang, aku tidak mau ada perempuan lain yang menggantikan Ibu. Aku akan membenci Ayah jika menikah lagi. Ayah selalu terdiam. Entah apa yang terpikir di benak Beliau. Yang jelas, Beliau memang tak pernah menikah lagi hingga saat ini.

Sekarang, setelah beranjak dewasa, aku sebenarnya sadar telah egois dan zalim pada Ayah. Beliau harusnya berhak menikah lagi. Ketika Ibu meninggal, Ayah masih sangat muda, 43 tahun. Tentu sangat wajar jika ingin menikah lagi.

Tapi, meski sadar, aku tetap merasa nyaman seperti saat ini. Berdua saja dengan Ayah. Tak perlu ada perempuan lain hadir dalam hidup kami. Entah bagaimana dengan Ayah. Aku tidak bisa memastikan, apakah beliau masih menyisakan keinginan untuk menikah lagi atau tidak.

Begitulah, semua kondisi itu memang membuat hubunganku dengan Ayah menjadi serba canggung. Apalagi enam tahun ini aku di pondok. Bertemu Ayah hanya sesekali saja. Tidak ada interaksi yang intens. Jarang berkomunikasi. Wajar kalau kami tidak cair ketika ngobrol. Ada semacam penghalang psikologis yang menyebabkan kami tidak bisa akrab.

"Lea, sekarang apa Kamu masih sebal sama ayah karena dulu ayah masukin pondok?" tanya Ayah seraya tersenyum, memecah keheningan suasana sarapan kami.

"Ndak, sih, Yah," jawabku singkat sambil terus menyuap nasi goreng.

Ayah Kembali tersenyum lalu mengangguk-angguk kecil. Ada semacam kelegaan tersirat dari air muka Beliau mendengar jawabanku itu.

Ya, gimana aku akan menyesal. Aku sebentar lagi akan berangkat ke Mesir untuk studi di sana. Aku berhasil mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah di negeri pyramid itu.

Sekarang, aku justru berterima kasih pada Ayah karena dulu memaksaku masuk pesantren. Aku berhasil menjadi santri unggul, dan mampu menyelesaikan studi sebagai salah seorang lulusan terbaik. Kemudian mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan studi S1 dengan opsi berlanjut hingga S2 bahkan S3. Semua jelas karena Ayah. Tapi, tentu aku tak akan mengakuinya secara berlebihan pada Ayah. Aku masih malu mengingat betapa kerasnya penolakan dan tuduhanku pada Beliau dulu.

"Ternyata menyenangkan, toh, mondok itu?" Suara Ayah lirih.

Aku lirik Beliau. Tatapan kami beradu karena Ayah ternyata juga berkata-kata sambil melirikku dengan sudut matanya.

Aku diam saja. Sulit menampilkan ekspresi yang tepat. Antara malu dan ingin berkata jujur. Malu karena dulu menolak keras masuk pondok. Ingin berkata jujur karena aku memang merasakan banyak sekali pengalaman menyenangkan selama enam tahun mondok.

Akhirnya, hanya senyum tertahan dan semu merah yang terpancar dari wajahku. Ayah telah berhasil menyindirku dengan telak. Benar lah rupanya petuah yang selama ini sering kudengar, bahwa semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya.

"Cerita, dong, ke ayah, pengalaman apa yang paling menarik selama belajar di pondok?" Ayah terus berusaha mencairkan kekakuan antara kami.

"Mmm ... banyak sih, Yah. Terlalu banyak untuk diceritakan," jawabku diplomatis. Aku masih enggan terlalu banyak ngobrol dengan Ayah.

"Kamu nggak minder, kan, selama mondok? Kan yang mondok di sana rata-rata anak orang kaya." Ayah terus berusaha memancing aku bercerita.

Aku pun akhirnya terpancing.

"Oh, iya, Yah. Ada yang menarik memang, terkait orang kaya yang Ayah sebut itu. Pas pelajaran tentang hukum waris, teman-temanku pada bersemangat dan banyak yang bertanya, loh, Yah,"

"Loh, kenapa? Padahal menurut Ayah itu termasuk pelajaran yang tidak menarik," sela Ayah antusias.

"Ya, gitulah, Yah. Mungkin karena mereka rata-rata anak orang kaya. Orang tua mereka pastinya nanti bakal mewarisi banyak harta. Sementara, mereka kan rata-rata punya beberapa orang saudara. Tentu penting bagi mereka untuk paham hukum waris itu. Supaya tau hak mereka atas harta warisan orang tua mereka kelak." Aku tersenyum lebar mengakhiri penjelasan.

"Hmm... benar juga, ya. Memang, sih, banyak lo, orang bersaudara jadi rusak persaudaraan mereka gara-gara warisan. Berebut harta. Biasanya itu terjadi karena tak ada wasiat dari orang tua sebelum meninggal. Atau, kalaupun ada wasiat yang jelas, ahli waris mengingkari, tak mau memenuhi isi wasiat itu. Karena serakah biasanya. Saling ingin mendapatkan porsi harta yang lebih besar. Padahal, bukankah dalam hukum waris Islam itu semua sudah jelas dan rinci di atur kan?"

"Betul, Yah. Ada temanku yang cerita, dia serius sekali mendalami pelajaran tentang hukum waris itu memang karena orang tuanya sendiri dulu mengalami konflik keluarga gara-gara rebutan warisan," tambahku.

Ayah mengangguk-angguk mendengar ceritaku. Beliau tampak sangat senang mendengar aku akhirnya mau ngobrol banyak. Tidak hanya menjawab singkat-singkat dan klise. Terlihat sekali ada rona bahagia di wajah Ayah yang teduh.

"Untung aku tunggal, ya, Yah? Jadi gak bakal ada masalah soal warisan Ayah kelak. Gak bakal ada yang namanya rebutan warisan," candaku.

Ayah cuma tertawa kecil.

"Eh, bukannya memang nggak ada harta yang bisa Ayah wariskan buatku kelak, kan?" candaku lagi.

"Eh, siapa bilang nggak ada? Jangan salah ... Ada, lo," timpal Ayah dengan ekspresi jenaka.

"Apa, memangnya? Rumah ini? Bukannya Ayah bilang, rumah ini milik Almarhumah Ibu dan saudara-saudaranya dan belum ada pembagian yang jelas di antara mereka?" tanyaku heran.

Aku tahu betul, Ayah memang tak punya harta apapun. Penghasilan Beliau dari bekerja keras sebagai mandor di proyek-proyek property semuanya habis hanya untuk biayaku mondok yang memang relatif sangat mahal untuk ukuran kami. Satu-satunya harta Ayah, ya cuma motor butut yang Beliau gunakan sehari-hari untuk bekerja. Tak ada lagi nilainya. Jika dijual, paling cuma laku dua juta.

"Bukan rumah ini. Tapi akun facebook Ayah. Akun itu tak ternilai harganya. Nanti akan Ayah wariskan untukmu," jawab Ayah masih dengan senyum mengembang.

"Ah, Ayah, nih ... Aku kira apaan. Akun facebook rupanya. Buat apa memangnya akun facebook Ayah, tuh? Lagian, ayah norak amat, sih. Pakai main facebook segala. Ayah udah tua, tau! Ngapain sih pakai facebook-facebook segala?" Aku 'sebel' dengan candaan Ayah.

"Akun itu sangat berharga, Nak. Tapi, ya sudahlah ... lupakan saja."

Ayah terlihat sedikit kecewa mendengar kata-kataku. Namun tak lama, Beliau segera berusaha ceria Kembali. Tak mau merusak suasana akrab kami yang mulai terjalin.

"Oya, penerbanganmu tetap sesuai jadwal, kan? Nanti, kalau sudah jamnya harus berangkat, dan Ayah belum pulang, berangkat saja, ya. Nggak usah nunggu Ayah. Kunci rumah taruh saja di bawah keset."

"Iya, Yah. Masih sesuai jadwal," jawabku masih dengan wajah agak kesal.

"Ayah ndak masalah kan, aku tinggal jauh dalam waktu lama? Bisa jadi aku ngak akan pulang bertahun-tahun, lo, Yah."

"Ndak apa, Nak. Jangan khawatirkan Ayah. Fokus saja sama studimu di Mesir sana. Belajar yang tekun. Raih prestasi terbaik. Itu saja sudah cukup buat Ayah."

"Tapi ingat, lo, Yah. Setelah aku pergi, aku tetap nggak mau Ayah nikah lagi. Aku nggak mau punya Ibu lain selain Almarhumah Ibuku," tegasku.

Ayah kembali cuma merespon dengan senyuman. Selalu begitu. Tak pernah berubah sejak dulu. Ayah tak pernah dengan tegas membuat pernyataan di hadapanku, bahwa Beliau memang tidak berniat akan menikah lagi. Dalam hati, aku masih menyimpan kecurigaan bahwa sebenarnya Ayah masih sangat ingin menikah lagi.

*****

Pukul 13 lewat sedikit, selepas mengerjakan shalat dzuhur, aku meninggalkan rumah menuju bandara. Aku akan menempuh penerbangan panjang menuju Cairo, Mesir. Lebih kurang 13 jam dengan sekali transit di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.

Sebagaimana pesan Ayah tadi, kunci rumah kutaruh di bawah keset depan pintu rumah.

Demikianlah, meski akan pergi jauh dalam waktu yang sangat lama, perpisahanku dengan Ayah cuma begitu saja. Tak ada kata-kata perpisahan melankolis, emosional, apalagi bertangis-tangisan. Semua datar-datar saja. Bahkan tadi aku belum sempat salim sekaligus berpamitan dengan Ayah. Sebab, Beliau sudah berangkat kerja saat aku sedang di kamar mandi. Beliau cuma berteriak memberi tahu akan berangkat kerja.

Ya, begitulah kami. Hubungan kami sebagai ayah dan anak memang tidak hangat sama sekali. Karena sejak usiaku dua belas tahun sudah berjauhan dengan Ayah, perpisahan menjadi hal yang biasa saja bagi kami. Ditambah pula karena terlalu seringnya aku nyinyir meminta Ayah untuk jangan sekali-kali pernah mencari pengganti Ibu untukku, maka, semakin dinginlah hubungan kami.

Kadang aku merasa, Ayah tak terlalu menyayangiku. Meski sekarang bersyukur karena dulu Ayah mengirimku ke pesantren, aku tetap merasa keputusan itu diambil Ayah hanya karena Beliau tak betah mengurusku di rumah.

*****

Dalam perjalanan ke bandara, aku hanya diam dan merenung. Bagaimanapun terbiasanya aku jauh dari Ayah, tetap saja kali ini aku memikirkan Beliau. Ditambah pula pengemudi taksi yang kutumpangi sepertinya tipe pendiam. Tak suka mengajak penumpangnya ngobrol. Makin larutlah aku dalam perenungan.

Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa tersadar selama ini sudah terlalu banyak berprasangka buruk pada Ayah. Padahal, hingga detik ini tak satupun prasangka itu terbukti benar. Tak sempat salim pada Ayah tadi membuatku merasa belum plong. Merasa belum mendapat doa restu. Apalagi dalam obrolan pagi tadi aku sempat meremehkan Ayah Ketika kami membahas soal warisan. Aku bahkan mencemooh ketika Beliau berkata ingin mewariskan akun facebook-nya untukku kelak.

Aku coba telpon Ayah. Ingin minta maaf soal kata-kata ketusku pagi tadi sekaligus berpamitan. Berulang-ulang telponku nyambung namun tak diangkat. Aku jeda beberapa menit, lalu kembali menelpon, tapi tetap tidak diangkat. Mana Ayah?

Aku gelisah. Kucoba menenangkan diri dengan prasangka baik. Mungkin ayah sedang sibuk dengan pekerjaannya sehingga tak sempat mengangkat telpon.

Lalu kuedarkan pandangan ke luar. Tak banyak kendaraan lalu lalang. Jalan tol sepi siang ini. Tiba-tiba aku teringat soal facebook. Kenapa Ayah tadi bilang ingin mewariskan akun facebooknya? Pasti ada yang istimewa, pikirku. Aku penasaran.

Segera aku masuk ke aplikasi medsos itu. Aku sendiri sebenarnya sudah sangat jarang mengaksesnya. Di kalangan anak muda facebook memang tidak terlalu menarik lagi. Termasuk aku. Aku pun lebih aktif menggunakan Instagram dan whatsapp saja ketimbang facebook. Namun, kali ini aku begitu antusias ingin ke facebook.

Aku coba ketik dan search nama asli Ayah di fitur pencarian FB. Ketemu. Rupanya Ayah menggunakan nama aslinya sebagai nama akun. Sehingga tak sulit aku menemukannya. Setingan akun itupun sepertinya "PUBLIK". Aku bisa langsung melihat semua info dan isinya.

Yang pertama kulihat adalah foto profil. Ayah memasang foto perempuan berwajah manis sebagai foto profilnya. Awalnya aku mengerenyitkan kening, foto siapa itu? Tapi, kemudian aku bisa mengenali, itu foto Almarhumah Ibu. Aku pernah melihat foto itu di album foto di kolong meja ruang tamu. Rupanya, oleh Ayah foto itu difoto ulang dan Beliau jadikan foto profil.

Aku tersenyum sekaligus malu. Selama ini aku selalu yakin Ayah sudah melupakan Ibu. Ternyata aku salah. Beliau malah mengabadikan foto Ibu di akunnya.

Di bawah nama akun, Ayah menuliskan slogan bio, "Saksi Perjalanan Hidupku."

'Hmm... ini mungkin yang dimaksud Ayah tadi, bahwa akun facebooknya tak ternilai harganya. Perjalanan hidup yang diabadikan tentunya memang sesuatu yang amat berharga.

Aku penasaran, apa saja yang diposting Ayah. Jika Ayah bilang akun ini adalah saksi perjalanan hidupnya, tentu banyak pula isinya tentang aku dan Almarhumah Ibu.

Benar saja, Ketika aku turun sedikit ke bawah, terlihat status yang baru dua jam lalu ditulis Ayah.

[Istriku, sumpah yang pernah kuucapkan di hadapanmu, sesaat menjelang ajal menjemputmu, sudah kutunaikan. Lihatlah putri kita sekarang, Dia telah menjadi gadis dewasa yang luar biasa. Dia tumbuh cantik dan cerdas. Siap melanglang buana kemanapun Dia suka. Semoga Kau tenang di alam sana, Sayang]

Seluruh rambut halus di sekujur tubuhku merinding hebat setelah membaca status Ayah itu. Sumpah apa yang pernah diucapkan Ayah sebelum Ibu meninggal?

Tak sabar, kugulir layar terus menerus ke bawah. Aku ingin melihat semua postingan Ayah sejak awal Beliau membuat Akun. Setelah lebih dua menit men-scroll mundur layar tanpa henti, akhirnya aku tiba pada postingan pertama Ayah. Tertanggal 23 November 2009. Saat itu usiaku masih enam tahun. Rupanya Ayah sudah membuat akun sejak masa-masa awal hadirnya facebook.

[Ini putri pertama kami, Leandra namanya. Bermakna "Seperti Singa". Kami berharap kelak Dia tumbuh menjadi perempuan pemberani. Kuat dan tegar menghadapi segala tantangan kehidupan]

Demikian caption pada postingan pertama Ayah itu. Yaitu foto Ayah sedang menggendong aku yang masih bayi. Ayah menjelaskan makna namaku lewat postingan itu.

Rupanya, setelah muncul facebook, Ayah memposting dokumen-dokumen lama. Mem-flashback masa lalu. Mengabadikannya di lini masa facebook.

Pada postingan-postingan berikutnya, kembali kutemukan berbagai foto dan video lama. Rupanya hampir semua momen penting fase tumbuh kembangku diabadikan Ayah lewat foto dan video.

Ada foto aku dan Ibu saat mau imunisasi. Ada video saat aku baru bisa berjalan. Melangkah terhuyung-huyung kemudian terduduk di lantai karena kaki belum kuat sempurna. Juga ada banyak sekali video rekaman saat aku berceloteh dan bernyanyi dengan kata-kata yang masih cadel.

Selain itu, Ayah rupanya juga suka menulis caption berpanjang-panjang. Menuliskan keterangan dan kesaksian atas semua momen yang terabadikan dalam tiap foto dan video yang Beliau posting.

Aku senyum-senyum melihatnya, karena bisa melihat alam masa kecilku. Melihat betapa dulu aku begitu disayang. Bisa kembali menyaksikan Ibu dalam wujud nyata, bergerak, berekspresi, bahkan berkata-kata melalui berbagai video yang diposting Ayah.

Rupanya ayah memang seorang dokumenter yang tekun. Sangat tepat kalimat yang tertera pada bio Ayah, ini memang saksi perjalanan hidup Beliau. Dan tentunya juga ada perjalanan hidupku dan Ibu di dalamnya. Rinduku pada Almarhumah Ibu pun terobati.

'Terimakasih, Ayah,' gumamku. Rasa haru mulai menyesak di dadaku.

Kembali kutelpon Ayah. Tapi masih sama dengan tadi. Telpon tersambung. Tapi tidak diangkat.

Dalam gelisah karena Ayah masih belum bisa dihubungi, aku kembali melanjutkan menggulir layar hp. Tak satu postingan pun kulewatkan. Semua kulihat seksama. Karena keasikan, tak terasa, aku sudah tiba di bandara. Buru-buru kuurus check-in dan buru-buru pula mencari tempat duduk yang nyaman di sebuah lounge yang tak terlalu ramai.

Setelah mendapatkan tempat duduk yang nyaman, tanpa menunggu lagi, aku kembali menekuri hp. Tak sabar ingin meneruskan keasikan menjelajahi isi akun facebook Ayah yang tadi terinterupsi.

Aku sudah sampai pada postingan Ayah di tahun 2015. Tahun dimana Kesehatan Ibu menurun drastis dan akhirnya meninggal akhir Februari.

Tanggal 27 Februari 2015 Ayah menulis sebuah status panjang yang membuatku kembali merinding hebat setelah membacanya.

["Manusia tidak dapat menuai cinta sampai dia merasakan perpisahan yang menyedihkan." (Khalil Gibran)

Sayang... aku telah bersumpah di hadapanmu sebelum ajal menjemputmu, bahwa aku tak akan pernah mencari pengganti dirimu hingga akhir hayatku.

Aku tak akan pernah menikah lagi. Aku ingin terus menuai cintamu. Dan itu hanya bisa kuperoleh jika aku tetap sendiri. Supaya kau tetap abadi dalam hati dan hari-hariku.

Aku juga bersumpah akan menjadikan Leandra sebagaimana yang kita cita-citakan bersama. Menjadi perempuan yang luar biasa. Segala daya upaya terbaik akan kulakukan untuknya. Rahimmu tak akan sia-sia pernah ditumpangi oleh sosok calon perempuan hebat itu]

Pelupuk mataku langsung memberat. Ada butiran-butiran bening menyesak hendak keluar. Kubaca ulang status itu, dada semakin gemuruh.

Kembali aku telpon Ayah. Tapi hp Beliau tak bisa dihubungi. Yang menjawab suara operator yang menyatakan nomor yang dituju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.

Tak lama setelah itu, terdengar suara announcement bandara yang mempersilahkan seluruh penumpang penerbangan maskapai Etihad tujuan Cairo untuk segera menaiki pesawat.

Aku mengalami dilema antara ingin memastikan keberadaan Ayah atau segera naik pesawat. Akhirnya kuputuskan mengirim pesan WA pada Ayah. Namun, setelah aku klik tombol kirim, pesan tak terkirim. Cuma tercentang satu.

'Mana Beliau? Kenapa tak bisa dihubungi?'

Rasanya ingin saja kubatalkan keberangkatan. Aku ingin bertemu Ayah dulu. Ingin bersimpuh di kaki Beliau dan meminta maaf atas segala prasangkaku. Ingin mencium tangan Beliau lalu mendapat kata-kata restu untuk keberangkatanku. Barulah hatiku bisa tenang.

Akan tetapi, membatalkan keberangkatan terlalu berat konsekwensinya. Akhirnya, dengan berat hati dan perasaan resah tak menentu, aku naik pesawat.

Setelah duduk gelisah selama lebih delapan jam penerbangan, pesawat mendarat untuk transit di Abu Dhabi. Belum sempurna pesawat berhenti, aku segera menghidupkan hp. Tak sabar ingin menelpon Ayah.

Begitu hp aktif, masuk sebuah pesan WA. Bukan dari nomor Ayah, melainkan dari sebuah nomor tanpa nama, yang tak tersimpan dalam phone book hp ku.

Segera kubuka.

[Lea, ini Om Irsyad. Rekan kerja papamu. Om mau mengabari, Papa Lea dalam keadaan kritis. Beliau mengalami serangan jantung saat bekerja tadi]

Seketika segala persendianku terasa lunglai tak bertenaga. Dada sesak, langit-langit bandara seolah berputar-putar dengan cepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun