Mohon tunggu...
Arfi Zon
Arfi Zon Mohon Tunggu... Penulis - PNS dan Penulis

Seorang Pegawai Negeri Sipil yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Akun Facebook Ayah

24 Juni 2021   06:49 Diperbarui: 29 Juli 2021   12:44 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ayah mengangguk-angguk mendengar ceritaku. Beliau tampak sangat senang mendengar aku akhirnya mau ngobrol banyak. Tidak hanya menjawab singkat-singkat dan klise. Terlihat sekali ada rona bahagia di wajah Ayah yang teduh.

"Untung aku tunggal, ya, Yah? Jadi gak bakal ada masalah soal warisan Ayah kelak. Gak bakal ada yang namanya rebutan warisan," candaku.

Ayah cuma tertawa kecil.

"Eh, bukannya memang nggak ada harta yang bisa Ayah wariskan buatku kelak, kan?" candaku lagi.

"Eh, siapa bilang nggak ada? Jangan salah ... Ada, lo," timpal Ayah dengan ekspresi jenaka.

"Apa, memangnya? Rumah ini? Bukannya Ayah bilang, rumah ini milik Almarhumah Ibu dan saudara-saudaranya dan belum ada pembagian yang jelas di antara mereka?" tanyaku heran.

Aku tahu betul, Ayah memang tak punya harta apapun. Penghasilan Beliau dari bekerja keras sebagai mandor di proyek-proyek property semuanya habis hanya untuk biayaku mondok yang memang relatif sangat mahal untuk ukuran kami. Satu-satunya harta Ayah, ya cuma motor butut yang Beliau gunakan sehari-hari untuk bekerja. Tak ada lagi nilainya. Jika dijual, paling cuma laku dua juta.

"Bukan rumah ini. Tapi akun facebook Ayah. Akun itu tak ternilai harganya. Nanti akan Ayah wariskan untukmu," jawab Ayah masih dengan senyum mengembang.

"Ah, Ayah, nih ... Aku kira apaan. Akun facebook rupanya. Buat apa memangnya akun facebook Ayah, tuh? Lagian, ayah norak amat, sih. Pakai main facebook segala. Ayah udah tua, tau! Ngapain sih pakai facebook-facebook segala?" Aku 'sebel' dengan candaan Ayah.

"Akun itu sangat berharga, Nak. Tapi, ya sudahlah ... lupakan saja."

Ayah terlihat sedikit kecewa mendengar kata-kataku. Namun tak lama, Beliau segera berusaha ceria Kembali. Tak mau merusak suasana akrab kami yang mulai terjalin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun