Ayah mengangguk-angguk mendengar ceritaku. Beliau tampak sangat senang mendengar aku akhirnya mau ngobrol banyak. Tidak hanya menjawab singkat-singkat dan klise. Terlihat sekali ada rona bahagia di wajah Ayah yang teduh.
"Untung aku tunggal, ya, Yah? Jadi gak bakal ada masalah soal warisan Ayah kelak. Gak bakal ada yang namanya rebutan warisan," candaku.
Ayah cuma tertawa kecil.
"Eh, bukannya memang nggak ada harta yang bisa Ayah wariskan buatku kelak, kan?" candaku lagi.
"Eh, siapa bilang nggak ada? Jangan salah ... Ada, lo," timpal Ayah dengan ekspresi jenaka.
"Apa, memangnya? Rumah ini? Bukannya Ayah bilang, rumah ini milik Almarhumah Ibu dan saudara-saudaranya dan belum ada pembagian yang jelas di antara mereka?" tanyaku heran.
Aku tahu betul, Ayah memang tak punya harta apapun. Penghasilan Beliau dari bekerja keras sebagai mandor di proyek-proyek property semuanya habis hanya untuk biayaku mondok yang memang relatif sangat mahal untuk ukuran kami. Satu-satunya harta Ayah, ya cuma motor butut yang Beliau gunakan sehari-hari untuk bekerja. Tak ada lagi nilainya. Jika dijual, paling cuma laku dua juta.
"Bukan rumah ini. Tapi akun facebook Ayah. Akun itu tak ternilai harganya. Nanti akan Ayah wariskan untukmu," jawab Ayah masih dengan senyum mengembang.
"Ah, Ayah, nih ... Aku kira apaan. Akun facebook rupanya. Buat apa memangnya akun facebook Ayah, tuh? Lagian, ayah norak amat, sih. Pakai main facebook segala. Ayah udah tua, tau! Ngapain sih pakai facebook-facebook segala?" Aku 'sebel' dengan candaan Ayah.
"Akun itu sangat berharga, Nak. Tapi, ya sudahlah ... lupakan saja."
Ayah terlihat sedikit kecewa mendengar kata-kataku. Namun tak lama, Beliau segera berusaha ceria Kembali. Tak mau merusak suasana akrab kami yang mulai terjalin.